BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebanyakan kasus yang mendasari
penggunaan kata “wacana” adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut
pola-pola yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika
mereka ambil bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda, misalnya
dalam domain “wacana medis” dan “wacana politik”. Dengan demikian “analisis
wacana” merupakan analisis atas pola-poa tersebut.
Meskipun demikian definisi berdasarkan
akal sehat seperti ini tidak banyak membantu menjelaskan apa sesungguhnya
wacana itu, bagaimana wacana itu berfungsi, atau bagaimana cara
menganalisisnya. Dengan demikian, harus dicari teori-teori dan metode-metode
analisis wacana yang lebih canggih.
Buku ini memperlihatkan lingkup bidang
ini dengan jalan menyajikan dan membahas tiga pendekatan yang berbeda pada
analisis wacana yakni teori wacana Laclau dan Mouffe, analisis wacana kritis,
dan psikologi diskursip. Kami menggambarkan ciri-ciri teoritis dan metodologis
yang berbeda pada setiap pendekatan itu. Dengan memperlihatkan fakta empiris
kami berharap bisa memberikan inspirasi bagi lahirnya kajian-kajian analisis
wacana yang baru. Selain itu juga memberi kemudahan dalam menggunakan desain
kerangka penelitian yang menggunakan lebih dari satu pendekatan dari
pendekatan-pendekatan tersebut dengan cara menyajikan dan mebahas premis-premis
filsafat yang umum bagi semua bentuk analisis wacana konstruksionis sosial.
Tentu saja, setiap pendekatan di atas
hanya kami bahas sedikit, baik teori-teori maupun piranti-piranti
metodologisnya. Untuk itu dalam laporan ini hanya bisa mendorong pembaca untuk
mau mengeksplorasi lebih dalam di blantara analisis wacana ini.
B.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui teori-teori tentang analisis wacana dari
para pakar bahasa. Serta
tujuan yang
hendak dicapai melalui penulis laporan buku ini adalah unuk mengetahui dan
mendeskripsikan:
1. isi buku Analisis
Wacana: Teori & Metode karangan Marianna W. Jorgensen dan Louise J.
Phillips.
2.
keunggulan buku tersebut dibanding buku sejenis lainnya.
3. kelemahan
buku tersebut dibanding buku sejenis lainnya.
C.
Manfaat
Laporan buku
ini diharapkan mampu memiliki keunggulan baik secara teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis diharapkan laporan buku ini menambah wawasan bagi para
pembaca. Secara singkat diharapkan laporan buku ini menambah pengetahuan,
wawasan, dan keilmuan bagi penulis maupun bagi pembaca.
D.
Identitas
Buku
a. Judul
buku : Analisis Wacana: Teori & Metode
b. Penulis : Marianna W. Jorgensen dan Louise J.
Phillips
c. Penerbit/kota : Pustaka Pelajar/Yogyakarta
d. Tahun
terbit : 2010
e. Jumlah
halaman : 319 halaman
f. Penerjemah : Imam Suyitno, Lilik Wahyuni, dan
Suwarna
BAB II
INTISARI BUKU
A.
Bidang
Analisis Wacana
1.
Paket
lengkap
Paket
ini berisi pertama-tama premis filosofis (ontologis dan epistemologis) peran
bahasa dalam konstruksi sosial dunia, kedua, model-model teoretis, ketiga,
pedoman-pedoman metodologis cara mendekati suatu domain penelitian, dan keempat
teknik-teknik khusus untuk melkasanakan analisis. Dalam analisis wacana, teori
dan metode itu terkait satu sama lain dan peneliti hendaknya menerima
premis-premis filsafat dasar tersebut agar bisa menggunakan analisis wacana
sebagai metode kajian empirisnya Di sini perlu ditekankan bahwa kendati isi
paket ini hendaknya memebentuk suatu keutuhan yang terpadu, ada kemungkinan
bisa menciptakan paket kita sendiri dengan cara menggabungkan unsur-unsur yang
berasala dari persfektif-persfektif nonanalisis wacana.
Karya
persfektif ganda seperti ini tidak hanya diperbolehkan namun patut dihargai
secara positif di kebanyakan bentuk analisis wacana. Karya persfektif ganda
hendaknya dibedakan dengan eklektitisme yang didasarkan pada campuran
pendekatan-pendekatan yang berbeda tanpa dilakukan pengukuran yang serius
terhadap hubungan-hubungannya satu sama lain. Agar bisa mengkonstruk suatu
kerangka yang runtut, perlu disadari adanya kemiripan-kemiripan dan
perbedaan-perbedaan filsafatis, teoretis dan metodologis diantara
pendekatan-pendekatan tersebut.
2.
Premis-premis
utama
Tiga pendekatan yang telah kami tetapkan
untuk dibahas secara khusus di sini semuanya didasarkan pada konstruksionisme
sosial. Kosnstruksionisme sosial merupakan istilah pokok yang memayungi sederet
teori baru budaya dan masyarakat. Pertama=tama kami akan mengemukakan ikhtisar
singkat asumsi-asumsi filsafat umum yang mendasari kebanyakan pendekatan
analisis wacana, dengan menggunakan kosntruksionisme sosial yang diajukan oleh
Vivien Burr (1995) dan Kenneth Gergen (1985). Kemudian kami akan memusatkan
pembahasan terutama pada asumsi-asumsi bahasa dan identitas yang dicakup oleh
semua pendekatan analisis wacana.
Burr
(1995:2-5), mengemukakan daftar empat premis yang sama-sama dimiliki oleh semua
pendekatan konstuksionis, yang dibangun berdasarkan uraian yang dikemukakan
Gergen (1985). Premis-premis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan kritis pada
penegtahuan yang dianggap lumrah apa adanya.
Pengetahuan kita
tentang dunia ini hendaknya tidak diperlakukan sebagai kebenaran objektif.
Realitas hanya bisa kita akses melalui kategori-kategori, dengan demikian
pengetahuan kita dan representasi dunia ini bukanlah refleksi realitas “di luar
sana”, namun merupakan hasil yang kita capai dalam mengategorisasikan dunia
ini, atau dalam istilah analitis kewacanaan, merupakan produk wacana (Burr
1985:3;Gergen 1985:266-7).
b.
Kekhususan
kultural dan historis (Burr 1995:3)
Pada dasarnya kita
merupakan manusia kultural dan historis dan pandangan terhadap pengetahuan kita
tentang dunia ini merupakan produk pertukaran-pertukaran berdasarkan situasi
secara historis di antara orang-orang (Gergen 1985: 267). Wacan merupakan
bentuk tindakan sosial yang memainkan peran dalam menghasilkan dunia sosial
termasuk hubungan sosial, identitas dan penegtahuan dan dengan demikian juga
memepertahankan pola-pola sosial yang khusus. Pandangan ini anti-esensialis:
bahwa dunia osisal itu dikosntruk secara sosial dan kewacanaan yang menyiratkan
bahwa sifatnya tidak diberikan atau ditetapkan sebelumnya oleh kondisi-kondisi
eksternal, dan bahwa masyarakat tidaklah memiliki sederet esensi atau sifat
yang tepat dan otentik.
c.
Hubungan
antara pengetahuan dan proses sosial
Cara kita dalam
memahami dunia ini diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial (Burr 1985:
4; Gergen 1985: 286). Pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial tempat
kita mengkonstruk kebenaran-kebenaran bersama dan membandingkan apa yang benar
dna apa yang salah.
d.
Hubungan
antara pengetahuan dna tindakan sosial
Dalam pandnagan dunia
tertentu, beberapa bentuk tindakan menjadi alami, sedangkan bentuk-bentuk
tindakan lain tidak bisa dipertimbangkan. Pemahaman sosial yang berbeda
terhadap dunia ini mengiring ke arah tindakan-tindakan sosial yang berbeda dan
juga kosntruk sosail penegtahuan dan kebenaran memiliki konsekuensi-konsekuensi
sosail (Burr 1995: 5; Gergen 1985: 268-269).
3.
Tiga
pendekatan pada wacana
Teori
wacana Ernesto Lclau dan Chantal Mouffe, merupakan teori postrukturalis yang
paling ‘murni” dalam bacaan kita ini. Teori ini titik pangkalnya dari gagasan
postrukturalis yang menyatakan bahwa wacana mengkosntruk makna dalam dunia
sosial dan karena secara mendasar itu tidak stabil, makna tidak pernah habis
secara permanen. Kata kunci teori ini adalah perjuangan kewacanaan (descursive struggle). Analisis wacana
kritis, fokus pembahasan khusus pada pendekatan Norman Fairclough, juga
menekankan peran aktif wacana dalam mengonstruk dunia sosial. Akan tetapi,
berlawanan dengan pendapat Laclau dan Mouffe, Fairclough menyatakan bahwa wacna
hanyalah merupakan salah satu di antara banyak aspek praktik sosial. Bidnag
utama yang menarik dalam analisi wacana kritis yang dikemukakan Fairclough
adalah penyelidikannya terhadap perubahan. Psikologi kewacanaan, sama-sama
memiliki fokus kajian empiris dengan analisis wacana kritis yakni
persoalan-persoaln khusus penggunaan bahas adalam interaksi sosial. pembahasan
tentang hakikat penelitian kritis yang terdapat dalam paradigma
kosntruksionisme sosial. Di sini, kami membahas dan mengevaluasi sederet usaha
untuk menangani masalah-masalah yang muncul sewaktu melaksanakan penelitian
kritis di sepanjang garis kosntruksionis sosial yang memusatkan perhatian pada
sudut pandnag mereka yang berbeda dalam membahas pertanyaan tentang
realitivisme dan status kebenaran dan pengetahuan.
4.
Dari
sistem bahasa ke wacana
Saussure
menyatakan bahwa tanda (sign) terdiri atas dua sisi, bentuk (signifiant) dan
isi (signifie), dan bahwa hubungan antara kedua itu sifatnya arbitrer (Saussure
1960). Saussure menganjurkan agar struktur tanda dibuat menjaadi pokok
persoalan linguistik. Saussure membedakan antara dua tataran bahasa yakni
language dan parole. Langue adalah struktur bahasa, yaitu jaringan tanda-tanda
yang memberi makna satu sama lain dan struktur ini sifatnya tetap dan tak bisa
diganti-ganti. Sebaliknya, parole merupakan penggunaan bahasa berdasarkan
situasi, tanda yang benar-benar digunakan pemakai bahasa itu dalam
situasi-siatuasi tertentu, parole harus selalu didasarkan pada langue, karena
langue itu merupakan struktur bahasa yang memungkinkan bisa diciptakannya
pernyataan-pernyataan khusus. Namun dalam tradisi Saussurean, parole sering
dipandang sebagai sesuatu yang acak dan banyak dilemahkan oleh
idiosinkrasi-idiosonkrasi dan kesalahan-kesalahan penggunanya sehingga
membuatnya dianggap tidak layak sebagai objek penelitian ilmiah.
Tidak
semua pendekatan analisis wacana secara jelas berkiblat pada postrukturalisme,
tetapi semua menyepakati ide-ide utama berikut.
a. Bahasa
bukanlah merupakan refleksi realitas yang telah ada sebelumnya.
b. Bahasa
terstruktur dalam pola-pola atau wacana-wacana. Tidak hanya ada satu sistem
umum makna sebagaimana yang dikemukakan strukturalisme Saussurean namun
terdapat serangkaian sistem atau wacana, tempat makna-makna bisa berubah dari
wacana satu ke wacana lain.
c. Pola-pola
kewacanaan itu dipertahankan dan ditransformasiklan dalam praktik-praktitk
kewacanaan.
d. Oleh
karena itu pemeliharaan dan trnasformasi pola-pola tersebut hendaknya
dieksplorasi melalui analisis konteks-konteks khusus tempat bertindaknya
bahasa.
5.
Genealogi
dan arkeologi foucault
Michael
Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui
karya teoretis dan penelitian praktis. Secara tradisional, karya Foucault
terbagi antara fase “arkeologi” awal dan fase “geneaologi” akhir. Kendati
keduanya tumpang tindih, dan Foucault terus menggunakan piranti-piranti dari
arkeologinya dalam karya-karya berikutnya. Foucault menganut premis
konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar
refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rejim
pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam
kerja genalogisnya. Foucault mengembangkan teori kekuasaan/pengetahuan.
Bukannya memperlakukan agen-agen dan struktur-struktur sebagai
kategori-kategori primer, foucault memusatkan perhatiannya pada kekuasaan.
Konsep Foucault tentang kekuasaan/pengetahuan juga mempunyai
konsekuensi-konsekuensi terhadap konsepsinya tentang kebenaran. Foucault
menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akses ke kebenaran universal karena
mustahil membicarakannya dari posisi di luar wacana; tidak ada jalan untuk
lolos dari refresentasi. Dalam wacana tercipta “efek kebenaran”.
6.
Subjek
Foucault
juga telah memberikan titik awal bagi pemahaman analisis wacana terhadap
subjek. Menurut Foucault, subjek itu tidak terpusat (decentered). Di sisni,
Foucault dipenegaruhi oleh gurunya, Louis Althusser.
7.
Penolakan
determinisme
Fokus
penelitian ini ditujukan pada teks-teks (terutama teks media masa), bukan pada
penerimaan atau pemroduksian teks karena para peneliti menganggap cara kerja
ideologis dan efek teks itu sebagai sesuatu yang lumrah. Namun sejak akhir
tahun 1970an, persfektif Althusser telah mendapatkan kritik dari beberapa
kritik dari beberapa sisi. Pertama, diajukan pertanyaan tentang kemungkinan
timbulnya perlawanan kepada pesan-pesan ideologis yang disodorkan kepada subjek
yakni pertanyaan mengenai kebebasan tindakan atau agensi subjek. Kedua, ketiga
pendekatan analisis wacana yang disajikan dalam buku ini mneolak pemahaman
dunia sosial sebagai dunia yang diatur oleh suatu ideologi yang utuh.
Pendekatan-pendekatan yang berbeda itu telah mengembangkan konsep-konsep yang
berbeda mengenai subjek yang akan kita bahas pada bab-bab mendatang.
Namun
umumnya, bisa dikatakan bahwa semua pendekatan memandang subjek sebagai sesuatu
yang diciptakan dalam wacana dan dengan begitu sebagai sesuatu yang tidak terpusatkan
yang merupakan penataan subjek sebagai fokus utama anlisis empiris. Pokok
persoalan ketiga dan terakhir yang kontroversial dalam teori Althusser adalah
konsep ideologi itu sendiri. Kebanyakan konsep ideologi, termasuk konsep
ideologi Althusser, menyiratkan bahwa akses pada kebenaran mutalk bisa dicapai,
ideologi menyebabkan distorsi hubungan-hubungan sosial yang riil dan jika ingin
membebaskan diri kita sendiri dari ideologi, kita harus mendapatkan akses ke
hubungan-hubungan sosial dan ke kebenaran.
8.
Perbedaan
antara pendekatan-pendekatan
Divergensi
cara pandang terhadap ideologi hanyalah merupakan salah satu perbedaan antara
tiga pendekatan pada wacana. Dalam pokok bahasan berikut, kami akan menjelaskan
perbedaan-perbedaan antara pendekatan-pendekatan dalam kaitannya. Pertama-tama,
dengan peran wacana dalam penjelasan itu, perbedaan –perbedaan itu hanya
masalah derajat saja dan kami akan memosisikan pendekatan-pendekatan itu dalam
hubungannya satu sama lian pada dua garis kontinum yang akan kita jadikan acuan
dalam buku ini.
9.
Peran
wacana dalam penyusunan dunia
Bagi
ke tiga pendekatan itu, fungsi wacana-praktik kewacanaan merupakan praktik
sosial yang membentuk dunia sosial. Konsep “praktik sosial” memandang tindakan
dari sudut pandang ganda: di satu sisi, tindakan itu bersifat kongkret, dan
individu dan konteks sifatnya terikat. Namun di sisi lain, tindakan-tindakan
juga terlembagakan dan terikat sosial dan karena itu muncul kecenderungan ke
arah pola-pola regularitas. Analisis wacana kritis Fairclough memberikan konsep
wacana untuk teks, pembicaraan, dan sisitem semiologis lain (mis. Isyarat dan
basa basi) dan membuat konsep ini tetap berbeda dengan dimensi-dimensi
praktik-praktik sosial.
10.
Fokus
analitis
Pada
garis kontinum ini, fokusnya ditujukan pada perbedaan-perbedaan derajad bukan
kualitatifnya, meskipun psikologi kewacanaan difokuskan pada praktik keseharian
orang-orang, psikologi ini senantiasa melibatkan struktur kemasyarakatan yang
lebih luas yang ditransformasikan atau dilakukan oleh orang-orang dalam praktik
kewacanaan. Kendati teori wacana Laclau dan Mouffe paling tertarik pada
wacana-wacana yang “didepersonalisasikan” dan yang lebih abstrak, gagasan bahwa
wacana-wacana itu diciptakan, dipertahankan dan diubah ke sejumlah praktik
keseharian sifatnya implisit dalam teori ini.
Namun
pada saat yang sama, posisi-posisi pendekatan-pendekatan yang berbeda pada
garis kontinum itu mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan penekanan
teoretisnya. Psikologi kewacanaan jauh lebih tertarik pada penggunaan wacana
seacara aktif dan kreatif sebagai sumber daya untuk mencapai tindakan-tindakan
sosial dalam konteks-konteks khusus interaksi dibandingkan teori wacana Laclau
dan Mouffe.
11.
Peran
analisis wacana
Bagi
analisis wacana, tujuan penelitian adalah tidak untuk “menyongkong” wacana,
menemukan apa yang benar-benar dimaksudkan orang ketika mereka mengatakan ini
atau itu, atau menemukan realitas di balik wacana. Titik awalnya adalah bahwa
realitas tidak pernah bisa dicapai di luar wacana dan dengan begitu wacana itu
sendirilah yang mnejadi objek analisisnya. Dari pendekatan-pendekatan yang kami
sajikan, masalah mengenai cara mengatasi kemungkinan kebenaran ternyata paling
penting dalam psikologi kewacanaan dan teori wacana Laclau dn Mouffe. Pada
prinsispnya, peneliti harus mampu menghasilkan wacana nonideologis. Namun
masalah tersebut muncul kembali karena munculnya pertanyaan tentang bagaimana
membedakan antara wacana yang ideologis dan yang nonideologis dan pertanyaan
siapa yang cukup banyaka dibebaskan dari tindak pengonstruksian kewacanaan
dunia agar dihasilkan pembedaan ini.
B.
Teori
Wacana Laclau dan Mouffe
1.
Teori
“ subjek” Laclau
Dalam
teks yang ditulis Laclau dalam bukunya Hegemony
and Socialist study, dia mengimpor teori-teori Jackues Laclau melalui
Slavoj Zizek dalam upayanya untuk mengembangkan lebih lanjut konsep “subjek
“,Laclau menggunakan teori Laclau untuk memberi individu sesuai dengan yang tak
disadarinya sehingga bisa menjelaskan mengapa orang membiarkan dirinya
diinterpelasikan oleh wacana.
Terori
Laclau dimulai dari bayi (manusia). Laclau menyatakan bahwa ada
kenyentrikan “kenyentrikan radikal diri sendiri bila dihadapkan pada manusia “
(Laclau 1977a: 171) tanpa mempedulikan dimana subjek diposisikan oleh wacana,
perasaan kesempurnaan itu tidak bisa muncul. Dengan memauskan pemahaman Laclau
tentang subjek, teori wacana telah memberikan subjek “ daya dorong” karena
senantiasa teori ini mencoba ”menemukan dirinya sendiri” melalui investasinya pada
wacana-wacana.
Pemahaman identitas dalam teori wacana Laclau dan Mouffe bisa
diikhtisarkan sebagai berikut :
a. subjek
pada dasarnya terbelah, dia tidak pernah cukup bisa menjadi “dirinya”.
b. subjek
memperoleh iddentitasnya dengan diwakili secara kewacanaan.
c. dengan
demikian, identitas merupakan identifikasi dengan posisi subjek dalam struktur
kewacanaan.
d. identitas
secara kewacanaan tersusun melalui jainan kesepadanan tempat tanda-tanda
dipilah atau dihubungkan bersama dengan rantai-jalinan yang berlawanan dengan
jalinan-jalinan lain sehinga bisa
menetapkan seperti atau tidak seperti apa subjek itu.
e. identitas
senantiasa diorganisasikan seacar relasional; subjek merupakan sesuatu karena
diperbandingkan dengan sesuatu yang merupakan subjek itu.
f. identitas
bisa diubah sama seperti wacana.
g. subjek
difragmentasikan atau disentralisasikan. Subjek memiliki
identitas-identitas yang berbeda sesuai
dengan wacana-wacana yang membentuk bagian subjek itu.
h. subjek
ditetapkan secara berlebihan. Prinsipnya, subjek selalu memiliki identitas
secara berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda. Oleh karena itu, identitas
tertentu itu bersifat mungkin yakni, mungkin namun tidak harus.
2.
Formasi
kelompok
Bagi Laclau dan Mouffe, sebagaimana yang
dikemukakan sebelumnya, formasi kelompok atau identitas kolektif dipahami
sebagai identitas individu menurut prinsip-prinsip yang sama. Seperti yang
telah kita lihat pada kritiknya terhadap Marxisme, Laclau dan Mouffe menyatakan
bahwa tidak ada kondisi objektif yang menentukan pembagian kelompok-kelompok ke
dalam ruang sosial.
Poses kewacanaan seperti itu bisa
ditampung dalam pasangan konsep Laclau dan Mouffe “ logika kesepadanan” dan “
logika perbedaan” ( Laclau dan Mouffe 1985 : 127ff). Logika kesepadanan (logic of equivalance) bisa dijalankankan
bila semua orang non kulit putih secara berangsur-angsur di identifikasi
sebagai orang kulit hitam : kekhusuan semua asal muasal dan warna kulit yang
berbeda dimasukan kedalam satu kategori “ kulit hitam” dan “kulit putih”
didefinisikan bertentangan dengan apa yang tidak bekulit putih , yakni, sebagai
orang yang tidak berkulit putih .
3.
Representasi
Unsur penting yang terdapat dalam proses
formasi kelompok adalah representasi.
Karena kelompok secara sosial tidak bisa ditetapkan sebelumnya, kelompok-kelompok
itu tidak ada samapai disusun dalam wacana.
Namun menuut Laclau dan Mouffe, tidak
kelompok yang objektif karena
kelompok-kelompok selalu diciptakan melalui pengonstrusian kesepadanan yang
bersifat tergantung di antar unsur-unsur yang berbeda. Eric Hobsbawn (dari
sudut pandang Marxist yang lebih agak tradisional ) telah mereflesikan
pandanganya pada proses penciptaan identitas kelompok di tahun-tahun sebelum PD
1(Hobsbawn 1990 : 122 ff). di akhir abad ke 19, rasa handabeni orang-orang
terhadapa negara bangsa tumbuh subur dan pembagian dunia di sepanjang garis
kebangsaan tampaknya semakin dianggap sesuatu yang alami.
Hobswan tidak memperaktikan analisis
wacana, tapi sebagaimana yang telah kami kemukakan, analisisnya masih berfungsi
sebagai contoh tentang sebenarnya seperti apa analisis wacana proses politik
dan kewacanaan itu.
4.
Antagonisme
dan hegemoni
Perjuangan menciptakan penciptaan makna
merupakan tema yang sedang dikupas dalam bab ini, dan dalam perspektif teoretis
wacana, konflik dan perjuangan lazim terjadi dalam dunia sosial, sehingga
perjuangan menjadi fokus penting dalam analisis khusus.
Titik awal teori wacana adalah bahwa
tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacan selalu bertentangan dengan
wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda-beda dan
menetapkan pedoman-pedoman lain bagi tindakan sosial. Antagonisme sosial telah
terjadi bila identitas-identitas yang berbeda saling meniadakan satu sama lain.
“Hegemoni” mirip dengan wacana karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan
yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi
hegemonis mencapai perasaan mendalam lintas wacan-wacana yang bertabrakan
secara antagonistis. Jadi intervensi hegemonis adalah proses yang terjadi dalam
bidang antagonistis, dan hasilnya adalah wacana- perasaan baru yang mendalam
terhadap makna.
5.
Cara
menggunakan teori wacana
Sebagaiman yang telah kami sebutkan
diatas, Laclau dan Mouffe tidak banyak melakukan analisis terinci materi-materi
mereka. Namun hal ini tidak berarti bahwa teori atau konsep Laclau dan Mouffe
tidak digunakan dalam analisis empiris yang terinci. Teori atau
konsep mereka tetap bisa di pakai tapi memerlukan sedikit imajinasi.
Disini,kami akan melakukan rekapitulasi sebagai konsep Laclau dan Mouffe tyang
kami anggap berguna sebagai alat untuk melakukan analisis empiris :
a. Titik
nodal mitos, dan penanda utama, yang secara kolektif disebut dengan penanda
utama dalam organisasi wacana ;
b. Konsep
jalinan kesepadanan mengacu pada investai penanda utama dengan makna ;
c. Jonsep-konsep
tentang identitas : formasi kelompok, identitas dan representasi ; dan
d. Konsep-konsep
untuk analisis konflik : penanda pengembangan, antagonisme dan hegemoni.
6.
Kontigensi
dan permanensi
Sekarang jelas bahwa titik awal teori
wacana Laclau dan Mouffe adalah segala sesuatu mungkin saja terjadi atau
bersifat kontogensi. Semua wacana dan artikulasi dan juga semua saspek penomena
sosial sesunggunya bisa berbeda dan menjadi berbeda.
Lilie Chouliaraki dan Norman
Fairclough(1999: 125) misalnya menyatakan bahwa Laclau dan Mouffe secara
berlebihan memandang fakta bahwa tidak semua individu dan kelompok memiliki
kemungkinan yang sama untuk bisa menyatakan kembali unsur-unsur yang ada dengan
cara-cara baru dan dengan begitu bisa menciptakan perubahan. Misalnya Lilie
couliaraki dan Norman Fairclugh merujuk
pada satu situasi dimana seorang pabrik oleh seorang pelangganya diwajibkan
untuk mematuhi standar mutu tertentu yang melibatkan pendokumentasian proses kerjanya
(1999: 127ff.)
Kami sepakat dengan chouliaraki dan
Fairchough bahwa kita perlu menyertakan pertimbangan-pertimbangan mengenai
permanensi dan batas ketika menganalisis fenomena sosial dan kami juga sepakat
bahwa aspek ini kadang memang penting dalam teori wacana Laclau dan
Mouffeseperti ketika misalnya mereka mengacu pada “ aliran terus menerus yang berlebihan pada setiap wacana yang disebabkan oleh tak terbatasnya medan
kewacanaan “(1985: 113; huruf miring sesuai dengan asalnya).
C.
Analisis
Wacana Kritis
1.
Lima
ciri umum
Di
antara pendekatan pendekatn yang berbeda
dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum. Ciri-ciri umum itulah yang
memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan terebut ke dalam gerakan yang sama. Dalam uraian
berikut kami kemukakan tinjauan Fairclough dan Wodak (1997 : 271ff.)
a. Sifat
struktur dan proses kultural dan sosial merupakan sebagian linguistik –
kewacanaan
Praktik-praktik
kewacanaan tempat dihasilkan(diciptakan) dan dikonsumsi ( diterima dan
diinterprestasikan) teks- dipandang sebagai bentuk paling praktik sosial yang
memberikan kontibusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup
hubungan-hubungan dan identitas sosial-sosial.
Tujuan wacana analisis
adalah menjelaskan dimensi inguistik-kewacanaan fenomena soaial dan kultural
dalam proses perubahan dalam modernitas terkini.
b. Wacan
itu tersusun dan bersifat konstitutif
Bagi analis wacana
kritis, wacana merupakan bentuk praktis sosial yang menyusun dunia sosial dan
disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain.
Sebagai contoh,
Fairclough (199b) menyatakan bagaimana struktur sosial mempengaruhi praktik-praktik kewacanaan.
Hubungan antara anak dan orang tua sebagian tersusun secara kewacanaan,
demikian kata, Fairclough, namun sekaligus, keluarga merupakan suatu lembaga
yang memiliki praktik-praktik kongkret identitas dan hubungan-hubungan yang
telah ada sebelumnya. Praktik,hubungan dan identitas tersebut aaslinya tersusun
secara kewacanaan,akan tetapi telah mengendap dalam lembaga-lembaga dan
praktik-praktik non kewacanaan.
c. Penggunaan
bahasa hendaknya dianalisis secara empiris dalam konteks sosialnya
Analisis Laclau dan Mouffe
menggarap analisis tekstual linguistik yang kongkret atas penggunaan bahasa
dalam interaksi sosial.
Contoh yang dikemukakan
dalam bagian akhir bab ini memperlihatkan bagaimana melaksanakan analisis
tekstual dalam analisis wacana.
d. Fungsi
wacana secara ideologis
Dalam analisis Laclau
dan Mouffe, dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi
penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara
kelompok-kelompok sosial – misalnya, antara kelas sosial, perempuan dan
laki-laki, kelompok minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami
sebagai efek ideologis.
Analisis wacana kritis
itu bersifat kritis maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkapkan
peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan upaya dunia sosial , termasuk
hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan.
e. Penelitian
kritis
Oleh sebab itu,
analisis wacana kitis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara
politik netral (sebagaimana ilmu sosial yang objektivis), namun sebagai
pendekatan kritis yang secara politik ditunjukan bagi timbulnya perubahan
sosial.
2.
Perbedaan
antara pendekatan-pendekatan yang diuraikan di atas
Meski ada lima ciri umum sebagaimana
yang dikemukakan di atas, pada perbedaan-perbedaan-perbedaan mencolok antara
pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis ditilik dari pemahaman teoretisnya
tentang wacana, ideologi dan perseptik historis serta juga metode yang
digunakan untuk kajian empiris penggunaan bahasa dan interaksi sosial dan efek ideologisnya.
3.
Analisis
wacana kritis Fairclough
Sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelimnya perbedaan penting antara Fairclough (dan analisis wacana kritis
secara umum ) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana
kritis, wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif namun juga tersusun.
Pendekatan
Fairclough merupakan bentuk wacana analisis yang beriorentasi pada teks dan
yang berusaha menyatukan tiga tradisi (Fairclough 1992b: 72) yakni :
a. analisis
tekstual yang terinci di bidang linguistik (termasuk tata bahsa fungsinal
Michael Halliday).
b. analisis
makro –sosiologis praktik sosial ( termasuk teori Fairclough, yang tidak
menyediakan meteodologi untuk menganalis
teks-teks khusus).
c. tradisi
interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologis (termasuk etnometeodologi
dan analisis percakapan ) di mana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai
produk tindakan orang-orang.
4.
Model
tiga dimensi Fairclough
a.
Konsep-konsep
utama
Fairclough menerapkan konsep wacana
dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Dalam pengertian yang paling abstrak,
wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Di atas kami
telah menggunakan istilah pernyataan ini bebrapa kali misalnya dalam pernyataan
“wacana itu bersifat konstitutif dan tersusun.” Kedua, wacana dipahami sebagai
jenis bahasa yang digunakan dalam suatu jenis bidang khusus, seperti wacan
politik atau ilmiah. Ketiga dalam penggunaan yang paling konket, wacana
digunakan sebagai suatu kata benda yang bisas dihitung( suatu wacana, wacana
tertentu wacana-wacana,wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara bertutur
yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari
presptik tertentu.
Wacana
memberikan konstribusi pada pengonstruksian :
· identitas sosial
· hubungan
sosial dan
· sistem
pengetahuan dan makna
Dalam
analisis manapun, ada dua dimensi wacana yang sangat penting yakni :
· peristiwa
komunikatif – misalnya oenggunaan bahasa seperti artikel surat kabar,film,vidio,wawancara
atau pidio politik ( Fairclough 1995b) dan
· tatanan
wacana – konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga atau
bidang sosial. Jenis-jenis wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran)
Aliran
adalah penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian
praktik sosial tertentu, misalnya aliran wawancara, aliran berita atau aliran
iklan ( 1995b : 56).
Dengan
demikian analisis peristiwa komunikatif meliputi :
· analisis
wacana dan aliran yang diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian teks(
tingkat praktik kewacanaan )
· analisis
struktur lingusitik (tingkat teks ); dan
· pertimbangan
mengenai apakah praktik kewacanaan memproduksi, bukanya merestrukturisasi
tatananwacana yang ada dan mengenai apa konsekuensi yang timbul bagi praktik
sosial yang lebih luas ( tingkat praktik sosial).
Tujuan umum tiga
dimensi itu adalah memberikan kerangka analitis bagi wacana.
b.
Tatatanan
wacana dan peristiwa komunikatif
Fairclough
memahami hubungan antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai
hubungan yang bersifat dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem,
namun bukan sistem dalam pengetian strukturalis,myakni, peristiwa-peristiwa
komunikatif tidak hanya merefrodiksi tatanan wacana.
c.
Antartekstualitas
dan antarkewacanaan
Antarkewacanaan
terjadi bila aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam
suatu peristiwa komunikatif. Antarkewacanaan merupakan bentuk antar tekstualitas.
Antartekstualitas mengacu pada kondisi tempat bergantungnya peristiwa
komunikatif pada peristiwa-peristiwa terdahulu.
5.
Wacana
ideologi dan hegemoni
Ideologi, bagi Fairclough merupakan
“makna yang melayani kekuasaan “ (Fairclough 1995b: 14) lebih tepatnya, dia
memahami ideologi sebagai pengonstruksian makna yang memberikan konstribusi
bagi pemproduksian, preprodusian dan transformasi hubungan-hungan dominasi (Fairclough
1992b: 87 ; cf. Chouliaraki dan Fairclough
1999:26f) ideologi tercipta dalam masyarakat-masyarakat.
Menurut Fairclough, konsep hegemoni
memberikan alat yang bisa kita gunakan untuk menganalis bagaimana praktik
kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial yang luas yang melibatkan
hubungan kekuasaan : praktik kewacanaan bisa dipandang sebagai aspek perjuangan
hegemonis yang memberikan kontribusi bagi refroduksi dan transformasi tatanan
wacana yang merupakan bagianya ( dan akibatnya juga hubungan kekuasaan yang ada
).
6.
Metode
desain penelitian
Dalam analisis yang menerpakna kerangka Fairclough
berikut, kami mencakup enam fase
penelitian yang berbeda, dari rumusan masalah hingga penggunaan hasil
penelitian. Kami memusatkan pembahasan pada fase analisis dengan menatanya
sesuai dengan model tiga dimensinya Fairclough.
a.
Pemilihan
masalah penelitian
Dari namanya, analisis
wacana kritis dimaksudkan untuk menghasilkan penelitian sosial kritis, yakni
penelitian yang memberikan konstribusi bagi koreksi atau ketidakadilan dan
ketidaksetaraan yang terjadi dalam masyarakat . Chouliaraki dan Fairclough
mendefinisikan tujuan analisis wacana kritis sebagai kritik eksplanatoris dengan mengambil konsep Roy Bhaskar (Bhaskar
1986, dalam Chouiaraki dan Fairclough 1999: 33, Fairclough 2001: 235-236)
b.
Rumusan
penyataan penelitian
Kerangka tiga dimensi
wacana menata semua komponen desain penelitian termasuk rumusan pertanyaan
penelitian. Prinsip utamanya adalah bahwa praktikk kewacanaan memiliki hubungan
dialektis dengan praktik sosial lain: wacana disisipkan secara sosial.
c.
Pilihan
materi
Pilihan materi
penelitian tergantung pada beberapa aspek :pertanyaan penelitian, pengetahuan
penelitian, pengetahuan penelitian tentang materi yang relevan dalam dominan
sosial atau lembaga yang ingin diteliti dan apakah dan bagaimana kita bisa mendapatkan
akses kesitu.
d.
Transkripsi
Tidak ada transkripsi
dalam contoh yang dikemukanan Fairclough karena korpus materinya tidak mencakup
wawancara atau bentuk-bentuk pembicaraan yang lain. tapi jika pembicaraan
memang digunakan sebagai materinya, perlu ditranskripsikan terlebih dulu – atau
paling tidak ditranskripsikan sebagian.
e.
Analisis
1)
Teks
Fairclough mengusulkan
sejumlah piranti bagi analisis teks. Mereka yang memiliki latar belakang linguistik mungkin mengenal
istilah-istilah berikut:
·
Kendali intruksional –
hubungan antara penutur-penutur, termasuk pertanyaan tentang siapa yang
menetapkan agenda percakapan (Fairclough 1992b: 152ff);
·
Etos : bagaimana
identitas dikontruk melalui bahasa dan aspek-aspek tubuh (1992b : 166ff)
·
Metafora (1992b: 194ff);
·
Kata (1992b: 190)15
dan
·
Tata bahasa (1992b;
158ff.,169ff)
2)
Praktik
sosial
Sampai sekarang kita telah
menganalisis teks sebagai teks dan sebagai praktik kewacanaan. Untuk itu
marilah kita mengalihkan perhatian kita pada praktik sosial yang salah satu bagianya
adlah dimensi-dimensi berikut. Pertama, hendaknya dilakukan eksplorasi hubungan
antara praktik kewacanaan dan tatanan wacana
( Fairclough 1992b : 237). Kedua,
tujuan yang ingin dicapai adalah memetakan hubungan kultural, sosial dan
nonwacana dan struktur yang menyusun konteks lebih luas praktik kewacanaan itu-
matriks wacana, dalam istilah
Fairclough ((Fairclough 1992b : 237).
7.
Hasil-hasil
penelitian
Menurut Fairclough, analisis wacana hendaknya mempertimbangkan masalah-masalah
etika tertentu tentang penggunaan umum hasil-hasil penelitianya. Peneliti perlu
mengetahui bahwa ada resioko kalau hasil
penelitianya bisa digunakan sebagai sumberdaya rekayasa sosial.
8.
Beberapa
komentar kritis
Satu cara memecahkan masalah teoritis
dalam membedakan antara momen kewacanaan dan nonkewacaan adalah
memperlakukannya sebagai pembedaan analitis bukannya empiris. Sebagaimana yang
dikemukakan Laclau dan Mouffe, sulit menunjukkan secara tepat garis batas
antara system kewacanaan dan non kewacanaan.
Kekurangan yang dimiliki Fairclough
seperti halnya yang ada pada jenis-jenis analisis wacana kritis lainnya adalah
pemahaman yang lemah secara teoritis tentang proses pembentukan kelompok,
subjek dan agensi, termasuk pertanyaan-pertanyaan tentang subjektifikasi dan
subjektivitas dan seberapa banyak kendali yang bisa dimiliki orang-orang
terhadap penggunaan bahasanya. Meski sejauh ini Fairclough memberikan penekanan
bahwa wacana ambil bagian dalam mengonstruk hubungan dan identitas sosial
(selain pengetahuan dan sistem makna), dia tidak bisa dikatakan telah
sepenuhnya merupakan aspek-aspek psikologi sosial, namun aspek-aspek tersebut
merupakan unsur terlemah teorinya. Kebanyakan kajian mereka terdiri atas
analisis tekstual, meski Fairclough menyatakan bahwa analisis tekstual itu
hendaknya digabungkan dengan analisis praktik produksi dan konsumsi teks
(Fairclough 1995b: 33).
Perbedaan penting yang ada antara
pendekatan Fairclough dan pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis lain
adalah pemahamannya terhadap wacana dan sistem sosialnya yang lebih bersifat
posstruktural. Konsepsi tentang wacana sebagai sesuatu yang bersifat
konstitutif mendasari timbulnya minat empirisnya pada peran dinamis wacana
dalam perubahan sosial dan cultural. Selain itu, pendekatan-pendekatan lain
cendrung menganggap wacana sebagai cerminan struktur dasar dan juga memusatkan
perhatiannya secara empiris pada peran wacana dalam reproduksi sosial.
D.
Psikologi
Kewacanaan
1.
Ikhtisar
Hal-hal
pokok yang ada pada untaian psikologi kewacanaan, secara sederhana, bisa
diikhtisarkan sebagai berikut:
a. Wacana
didefinisikan sebagai penggunaan bahasa dalam pembicaraan dan teks sehari-hari
merupakan bentuk dinamis sosial yang mengonstruk dunia sosial, identitas dan
diri individu.
b. Wacana
paling bagus dipandang tidak sebagai sistem yang abstrak (kecendrungan dalam
teori wacana strukturalis dan postrukturalis) namun sebagi penggunaan bahasa
berdasarkan situasi dalam konteks terjadinya penggunaan bahasa itu.
c. Orang
menggunakan wacana secara retoris untuk mencapai bentuk-bentuk tindakan sosial
dalam konteks-konteks interaksi tertentu. Dalam hal ini penggunaan bahasa
sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian fokus analisis ini tidaklah
ditunjukan pada organisasi linguis teks dan pembicaraan seperti dalam
kewacanaan kritis, melaikan pada organisasi retoris teks dan pembicaraan.
d. Bahasa
disusun dengan mengurangi versi-versi alternatif.
e. Bahasa
menyusun orang yang tak sadar maupun kesadaran. Teori psikionalitis bisa
digabungkan dengan analisis wacana agar bisa menjelaskan mekanisme-mekanisme
psikologis yang mendasari intervensi selektif orang-orang dan orang yang tak
terpehitungkan dalam wacana tertentu dari sederet wacana yang ada.
2.
Metode
dan desain penelitian
a.
Pertanyaan-pertanyaan
penelitian
Sebagimana yang ada pada pendekatan
pendekatan kualitatif yang lain, pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam
psikologi kewacanaan mengarah pada analisis pemroduksian makna.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengarah pada kajian bagaimana orang,
melalui praktik kewacanaan, menciptkan konstruksi dunia, kelompok dan
identitas.
b.
Pemilihan
sampel
Analisis wacana memerlukan waktu yang lama.
Selain waktu yang dihabiskan untuk menjalankan sistem analisis yang sistematis,
juga harus disediakan waktu untuk membaca dan membaca kembali teks-teks.
Tentang ukuran sampel, perlu sering digunakan sampel beberapa teks saja
(misalnya, sepuluh wawancara) (Potter dan Wetherell, 1987: 161). Alasannya
adalah bahwa fokus pembahasannya ditujukan pada penggunaan bahasa bukannya
individu dan bahwa pola-pola kewacanaan bisa diciptakan dan dipertahankan oleh
beberapa orang saja (Potter dam Wetherell 1987: 161). Kadang wawancara yang
lebih banyak bisa menciptakan pekerjaan tambahan namun tanpa memperkaya
analisisnya. Seberapa besar sampel yang diperlukan tergantung pada pertanyaan
penelitiannya (Potter dan Wetherell 1987: 161).
c.
Pemroduksian
material yang terjadi secara alami
Seringkali terjadi, para ahli psikologi
kewacanaan menggunakan materi “yang terjadi secara alami” bukannya, atau
dikombinasikan dengan, materi yang diciptakan peneliti melalui kontak dengan
responden (misalnya, dalam wawancara penelitian) (Potter da Wetherell 1987:
162; simak pula Potter 1997). Contoh materi yang terjadi secara alami meliputi
transkripsi percakapan sehari-hari, teks ilmiah, dan teks media. Keuntungannya
adalah bahwa peneliti tidak memengaruhi materi dan jenis materi yang
dikumpulkan terbuka bagi analisis variasi pada konteks-konteks sosial.
Misalnya, seseorang bisa memberi satu versi dunia dalam suatu wawancara dan
versi lain dalam bercakap-cakap dengan sahabat atau pada sesuatu yang dia tulis
(Potter dan Wetheller 1987: 162). Masalah praktis yang timbul adalah bahwa
percakapan alami sering memakan waktu lama untuk transkripsikannya. Karena alas
an-alasan etika, peneliti harus mendapatkan izin untuk mengikuti dan
menggunakan percakapan itu (Potter dan Wetherell 1987: 163; Potter 1997).
3.
Pemroduksian
materi melalui wawancara
Psikologi Kewacanaan VS
Metode Kualitatif Lain
Dalam epistemologis positivis, wawancara
perlu menghasilkan jawaban yang jelas dan konsisten yang sekitarnya
memungkinkan peneliti bisa mengambil kesimpulan mengenai opini-opini utama atau
tindakan-tindakan sebelumnya (misalnya praktik konsumsi). Wawancara yang
didasarkan pada epistemologi positivis biasanya terstruktur. Diajukan
pertanyaan-pertanyaan baku yang tidak menyimpang dari tatanan dan rumusan yang
telah disiapkan sebelumnya. Peneliti yang berbeda dalam tradisi ini berusaha
meminimalkan efek interaksi sosial antara pewawancara dan responden. Dalam
metodologi kualitatif yang menolak epistemologi positivis, wawancara dianggap
sebagai bentuk interaksi sosial yang pembentukannya dibantu oleh peneliti dan
responden, dan pewawancara jauh lebih aktif dan lebih banyak melakukan campur
tangan dibandingkan yang terjadi dalam wawancara terstruktur. Dengan demikian,
dalam analisinya, pewawancara dan responden dianggap setara. Wawancara dipandang
sebagai cara untuk menyelidiki makna-makna yang diciptakan semua partisipan
dalam interaksi sosial. Di sini, bahasa merupakan alat sekaligus objek analisis
(Jensen dan Jankowski 1991: 32).
4.
Transkripsi
Di sini apa yang terutama ingin kami
tekankan adalah implikasi perlakuan wawancara oleh psikologi kewacanaan sebagai
interaksi sosial. Perlu dipilih sistem transkripsi yang memungkinkan peneliti
bisa menganalisis wawancara sebagai interaksi sosial. Potter dan Wetherell (mis
Potter dan Wetherell 1987;Wetherell dan Potter 1992) menggunakan versi lebih
sederhana dibandingkan sistem tersebut (sistem Jeferson) yang sering digunakan
dalam analisis wacana kritis. Jika wawancara dianggap sebagai interaksi sosial,
pertanyaan dan jawabannya hendaknya ditranskripsikan dan dianalisis.
Transkripsi yang baik, menurut Wetherell dan Potter, bisa memperlihatkan
bagaimana jawaban responden sebagian merupakan hasil evaluasi pewawancara
terhadap responden.
5.
Pengodean
Tetapi bagi psikologi kewacanaan maupun
metode kualitatif lain, biasanya langkah pertama yang ditempuh adalah koding.
Cara memulai pengkodingan adalah membaca
dan membaca kembali transkripsi agar bisa mengidentifikasi tema-tema yang ada.
Cara semacam ini merupakan bentuk pengkondingan dimana fragmen-fragmen teks
ditempatkan dalam kategori-kategori. Tujuannya tidak hanya mengidentifikasi
tema-tema yang berasal dari kerangka teoritis melainkan juga membuka tema-tema
baru yang bisa ditemukan selama wawancara atau membaca transkripsi. Naskah
wawancara bisa difoto kopi dalm file-file subjek yang berbeda dan bila suatu
pemahaman mengenai suatu tema telah berkembang, ada kemungkinan bisa kembali ke
materi dan mencari lebih banyak contoh. Dalam proses ini, beberapa tema ditolak
dan diciptakan tema-tema baru (Potter dan Wetherell 1987: 167).
Suatu teknik yang bisa digunakan untuk
melakukan analisis adalah mencari titik-titik
krisis: tanda yang menunjukkan bahwa dalam interaksi telah terjadi
kesalahan. Tanda-tanda tersebut bisa merelefsikan konflik antara wacana-wacana
yang berbeda. Suatu tanda bisa menyatakan bahwa salah satu partisipan berusaha
menyelamatkan situasi misalnya dengan mengulangi ujaran, memecah kebisuan atau
melakukan perubahan tiba-tiba pada gaya bahasanya (Fairclough 1992a). Teknik
yang lain adalah mencari kata ganti.
Pergeseran pada kata ganti (misalnya, dari “I” ke “we”) bisa menunjukkan
terjadinya pergeseran dari posisi subjek dalam wacana yang lain.
6.
Analisis
Jenis-jenis psikologi kewacanaan yang
berbeda memiliki cara yang berbeda dalam mendekati analisis wacana. Pilihan
teknik analisisnya tergantung pada metode dan kerangka teoritisnya.
7.
Penentuan
validitas
Satu cara yang digunakan agar bisa
menentukan validitas analisis wacana adalah dengan memusatkan perhatian pada koherensi. Pernyataan analisis dianggap
membentuk suatu wacana yang koheren. Keberadaan aspek-aspek analisis yang tidak
sejalan dengan uraian analisis wacana mengurangi kemungkinan pembaca mau
menerima analisis ini (Potter dan Wetherell 1987: 170). Cara lain yang bisa
ditempuh untuk menentukan validitas adalah menganalisis kegunaan analisis
(Potter dan Wetherell 1987: 171-172). Metode ini secara tradisional telah lama
diterapkan dalam paradigma-paradigma ilmiah. Dalam mengevaluasi kegunaan
analisis, fokus utamanya ditujukan pada kemungkinan untuk bisa menjelaskan
kerangka analisis termasuk kemampuannya memberikan penjelasan-penjelasan baru.
8.
Laporan
penelitian
Laporan penelitian tidak hanya sekedar
penyajian hasil-hasil penelitian melaikan juga merupakan bagian dari validasi
(Potter dan Wetherell 1987: 172). Peneliti harus menyajikan analisis dan
kesimpulan dalam suatu bentuk yang memungkinkan pembaca bisa mempertimbangkan
interprestasi yang dibuat peneliti. Di sini, hal yang paling rawan adalah transparansi. Laporan penelitian ini
hendaknya berisi contoh-contoh representatif yang berasal dari materi empiris
ditambah dengan uraian terinci interprestasinya seraya menggabungkan pernyataan
analitis dengan ekstrak teks khusus. Laporan ini merupakan pendokumentasian
langkah-langkah analitis dari data kewacanaan ke kesimpulan peneliti. Pembaca
hendaknya diberi kemungkinan untuk bisa mengevaluasi setiap langkah prosesnya
dan membentuk kesannya sendiri. Kebanyakan bagian laporan terdiri atas inti
transkripsi dan interprestasi terinci yang mengidentifikasi pola-pola yang
terdapat dalam materi. Bila peneliti melakukan interprestasi sendiri,
permasalahan yang ada seringkali bisa menjadi jelas. Suatu pola kewacanaan yang
mereka anggap jelas bisa saja ternyata berantakan, dan untuk itu perlu kembali
menelaah cara pengkodingan atau bahkan transkripsinya (Potter dan Wetherell
1987: 173-174).
9.
Cara
menerapkan hasil penelitian
Cara mengomunikasikan wawasan analisis
wacana kepada orang-orang yang berada di luar bidang penelitian merupakan suatu
tantangan yang penting. Untuk itu peneliti perlu memilih apakah kelompok
sasaran hasil penelitian itu hendaknya masyarakat ilmiah, orang-orang yang
bersinggungan dengan penyelidikan itu (misalnya orang-orang yang diwawancarai),
kelompok milik orang yang diwawancarai (misalnya, subkultur tertentu) dan atau
orang-orang secara umum. Satu kemungkinannya adalah memilih media masa sebagai
medianya. Kemungkinan yang lain adalah melakukan dialog dengan orang-orang yang
dikaji (Potter dan Wetherell 1987: 175).
10.
Komentar
terakhir
Sebagai kesimpulan, kami akan membahas
beberapa kritik yang telah dilontarkan
kepada psikolog kewacanaan. Kami mulai pembahasan ini dengan dua untaian utama
psikologi kewacanaan yang disajikan dan digambarkan masing-masing oleh kajian
Wetherell dan Potter dan Widdicombe da Wooffit. Setelah itu, kami
mengetengahkan usaha Serge Moscovici untuk mengembangkan dan memperluas
perspektif kontruksionis sosial dengan memasukan sebagian perspektif
kognitivis.
Melalui pengguna sistematis teknik
analisis percakapan, Widdicombe dan Woofitt memperlihatkan sebagaimana orang
menggunakan sumberdaya kewacanaan termasuk identitas sosial untuk mengonstruk
cerita-cerita khusus. Hasilnya adalah bahwa mereka tidak menjelaskan peran
praktik kewacanaan dalam upaya mempertahankan tatanan sosial tertentu dan
meniadakan bentuk-bentuk alternative organisasi sosial.
Ditilik dari sudut pandangan kognitivis,
metode merupakan salah satu persoalan utama dalam psikologi ke wacana. Argument
yang dikemukakan adalah bahwa tanpa teknik-teknik tersebut semua jenis
interpretasi subjektif memiliki kendali yang bebas dan tidak ada criteria yang
bias digunakan untuk membedakan mana yang baik dengan yang jelek dan yang valid
dengan yang tidak valid.
Moscovici merupakan pelopor suatu
pendekatan yakni teori representasi sosial yang bisa dipandang fusi atau
persilangan antara konstruksionisme sosial dan kognitivisme ketika dia
menggabungkan unsure-unsur yang berasal dari kedua perspektif itu.
E.
Lintas
Pendekatan
1.
Wacana
sebagai struktur dan praktik
Prostrukturalisme berusaha menyatukan dua
tataran yakni parole dan langue, struktur dan praktik ke dalam suatu proses
tunggal. Struktur bukannya entitasnya dasar, hanya ada dalam praktik kewacanaan
yang memproduksi atau mentransformasikan.
Konsep utama analisis proses yang
dikemukakan Fairclough adalah antara tekstualitas dan antara kewacanaan. Dengan
mengamati bagaimana teks-teks khusus menggunakan formasi-formasi makna
terdahulu dan bagaimana mereka mencampur wacana yang berbeda. Fairclough
menyelidiki bagaimana wacana diproduksi dan prioritas utamanya adalah bagaimana
wacana-wacana itu diubah. Diantara yang lain bagaimana wacana-wacanaberbeda
diartikulasikan bersama dalam satu teks khusus dan apakah wacana-wacana yang
berbeda digabungkan dalam artikulasi-artikulasi yang baru.
Antarkewacanaan adalah tanda dan daya
dorong perubahan kurtular dan sosial. dengan mengananlisis antartekstualitas
dan antar kewacanaan, ada kemungkinan bisa memahami peran wacana dalam proses
perubahan sosial. Fairclough mengusulkan bahwa peneliti hendaknya menganalisis
dua dimensi: peristiwa komunikatif dan tatanan wacana. Praktik hendaknya
dianalisis berdasarkan struktur yang berkaitan dengannya. Laclau dan Mouffe
bekerja menggunakan pembedaan serupa, yakni antar artikulasi dan wacana. Di
sini, wacana merupakan penetapan makna yang lebih abstrak, dan artikulasi
merupakan tindakan khusus yang menggunakan atau mentransformasikan wacana.
2.
Wacana
dan tatanan wacana
Tatanan
wacana didefinisikan sebagai konfigurasi kompleks wacana dan aliran dalam
lembaga atau bidang sosialyang sama. Jadi, tatanan wacana bisa digunakan untuk
menggambarkan wacana-wacana yang berbeda yang sebagian mencangkup daerah yang
sama, daerah tempat masing-masing wacana saling berkompetensi untuk mengisi daerah
itu daerah itu dengan makna dengan caranya masing-masing.
a.
Cara
membatasi wacana
Memperlakukan pembatasan wacana
sebagai kegiatan analitis memerlukan pemahaman wacana sebagai objek yang harus
dikonstruk peneliti bukannya sebagai objek yang ada dalam bentuk terbatas pada
realitas, yang siap diidentifikasi dan dipetakan. Peneliti dalam laporannya
harus menetapkan bahwa batasan yang telah dibuatnya masuk akal. Pembatasan bisa
dimulai dengan alat bantu literature sekunder yang mengidentifikasi wacana-wacana
khusus, namun jelasnya pekerjaan dilanjutkan dalam analisis wacana materi.
b.
Isi
wacana
Dengan menggunakan
kerangka ini, penelitian bisa menggambarkan wacana-wacana yang berbeda, dengan
memusatkan perhatian pada hal-hal berikut ini:
1) Aspek
dunia tempat diperolehnya makna wacana;
2) Cara-cara
tertentu diperolehnya makna masing-masing wacana;
3) Titik-titik
terjadinya perjuangan terbuka antara representasi-representasi yang berbeda;
dan
4) Pemahaman
apapun yang dinaturalisasikan pada semua wacana sebagai akal sehat.
Isi wacana tentu saja
tergantung pada hakikat wacana yang dikaji. Namun pada dasarnya tujuan yang
ingin dicapai adalah menemukan bagaimana dunia mencari asal maknanya secara
kewacanaan dan konsekuensi-konsekuensi sosial apa yang diakibatkannya. Titik
awal pemikirannya adalah bahwa wacana, dengan merepresentasikan realitas dengan
satu cara tertentu bukannya dengan kemungkinan cara yang lain, menyusun subjek
dan objek dengan cara tertentu, menciptakan batas antara yang salah dan yang
benar, dan memastikan jenis tindakan apa yang relevan dan jenis-jenis tindakan
lain yang tak terpikirnya.
c.
Piranti
analisis
Diantara pendekatan-pendekat yang
diuraikan, oleh sebab itu, untuk beberapa kasus disarankan memulai analisis
dengan menggunakan metode retoris psikologi kewacanaan atau linguistic
Fairclough atau mengkombinasikan satu atau keduanya dengan teori wacana. Keuntungan menggunakan metode Fairclough
ditilik dari tingkat rincian yang dimintanya, adalah bahwa sering ada
kesempatan untuk menganalisis sejumlah kecil teks. Akibatnya, metode ini
menuntut agar peneliti secara strategis menyeleksi teks yang ingin dianalisis.
Supaya bisa melakukan penyeleksian yang strategis semacam itu perlu
diidentifikasik kemungkinan wacana dan tatanan wacana melalui survey awal
teks-teks yang relevan, termasuk penelitian yang ada yang mengkaji topik itu.
Disini kami menyimpulkan ingin
mengetengahkan bagaimana piranti- piranti
analisis itu juga bisa digunakan untuk memberikan dukungan empiris kepada
wacana-wacana dan tatanan wacana yang konstruk peneliti.
3.
Strategi-strategi
analisis
Dalam pokok bahasan ini, kami menyajikan
empat strategi yang bisa digunakan pada semua pendekatan guna memberikan
pemahaman yang penuh tentang materi bahasan dan mengidentifikasi titik-titik
fokus dalam rangka penyelidikan lebih lanjut. Pada fase awal analisis, bisa
digunakan strategi-strategi analisis untuk mendapatkan kesan awal yang utuh
tentang teks individu atau korpusteks dan menetapkan hipotesis-hipotesis yang
bermanfaat untuk penyelidikan yang lebih terinci. Pada fase akhir analisis,
strategi-strategi analisis tersebut bisa membantu penelitian mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus dan tepat tentang materinya,
pertanyaan-pertanyaan yang pada gilirannya bisa dieksplorasi dengan menggunakan
piranti-piranti analisis wacana yang lebih khusus yang berasal dari pendekatan-pendekatan
yang sudah ada.
4.
Pembanding
Pembadingan merupakan suatu strategi
yang sangat ampuh untuk memudahkan proses yang analisisnya senantiasa menjaga
jarak antara dirinya dengan materi yang digarapnya. Proses menjaga jarak itu
sangat penting sama seperti salah satu analisis wacana yang ditujukan untuk
mengidentifikasi asumsi-asumsi yang lumrah dan dinaturalisasikan dalam materi
empiris dan hal semacam ini bisa membantu peneliti mengenali hakikat relative
budaya dan golongan aspek-aspek teks yang dianalisis. Oleh karena itu,
pembandingan teks yang dianalisis dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang ada
merupakan langkah pertama menuju usaha untuk menghasilkan uraian lebih tepat
mengenai cara-cara tertentu yang digunakan teks dalam menghasilkan makna.
5.
Subtitusi
Subtitusi
merupakan suatu bentuk pembandingan tempat analisis menciptakan teks sebagai
pembandingannya. Substitusi melibatkan penggantian suatu kata dengan kata yang
berbeda, sehingga menghasilkan sua versi teks yangbisa diperbandingkan satu
sama lain. Dengan demikian makna kata aslinya bisa diketahui.
6.
Membesar-besarkan
sesuatu yang terperinci
Membesar-besarkan sesuatu yang
terperinci melibatkan aktivitas melebih-lebihkan rincan teks tertentu di luar
proposinya. Analisis mungkin mengidentifikasi cirri tekstual yang tampak aneh
atau signitifikan. Namun, karena hanya berupa satu ciri yang tersendiri, analis
tidak mengetahui apa signitifikasinya atau bagaimanakaitannya dengan teks
secara keseluruhan. Agar bisa mengeksplorasi signitifaksi cirri tersebut, kita
bisa membesar-besarkannya dan kemudian menanyakan kondisi-kondisi apa yang yang
diperlukan agar cirri tersebut masuk akal. Dantentang interpretasi apa yang
sekiranya secara keseluruhan cocok dengan ciri tersebut. seringkali terjadi
ciri-ciri yang menarik pada poin-poin tertentu dalam teks yang ternyata bisa
merusak komunikasi namun ciri-ciri yang lain jugabisa dibesar-besarkan.
7.
Vokalitas
ganda
Strategi vokalis ganda terdiri atas
penggambaran logika kewacanaan atau suara-suara yang berbeda dalam teks.
Strategi ini didasarkan pada premis analisis wacana tentang antartekstualitas
yakni, premis yang berbunyi bahwa semua ujaran tak pelak menggunakan,
memasukkan, atau menantang ujaran-ujaran terdahulu. Antartekstualitas selalu
melibatkan reproduksi dan transformasi suara-suara yang berbeda dalam
artikulasi-artikulasi baru, sehingga menghasilkan teks-teks vocal ganda. Oleh
karena itu, jika mencatat kalau suatu teks itu bersifat vokal ganda tidaklah
menarik. Tapi tujuan pengguna strategi semacam itu adalah menggunakan vokalitas
ganda untuk menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang diajukan ke teks yang
dipakai: apa yang mencorak suara-suara yang berbeda teks itu? Kapan
masing-masing suara berbicara? Makna apa yang disumbangkan oleh suara-suara
yang berbeda kepada pemroduksian teks?
8.
Dari
strategi ke analisis selanjutnya
Urutan dalam menyajikan ke empat
strategi itu sifatnya arbitrer. Analisis bisa dimulai dengan salah satu
strategi, dan analisis bisa meloncat ke depan atau ke belakang dari satu
strategi ke strategi yang lain dan tidak harus menggunakan strategi tersebut secara
keseluruhan. Tujuan digunakannya startegi-strategi tersebut adalah
mengembangkan pemahaman menyeluruh tentang materinya dan mengetengahkan ide-ide
yang lebih khusus tentang bagaimana menerapkannya piranti-piranti khusus
pendekatan analisis wacana atau pendekatan-pendekatan yang digunakan. Misalnya
bila strategi vokalitas ganda mengarah timbulnya pertimbangan-pertimbangan tentang
posisi pembaca sebagai agen atau korban dalam kerangka eksplanatoris yang
berbeda, alur pertimbangan semacam ini bisa diteruskan dengan menggabungakan
satu atau lebih analisis wacana, dengan menerapkan piranti-piranti khusus agar
bisa menyelidiki aspek teks ini lebih lanjut.
9.
Penelitian
perspektif ganda
Mengenai pengkonstruksian kerangka
perspektif ganda, upaya memasukan setiap pendekatan bisa dibenarkan dengan
alasan pengetahuan yang bisa dihasilkan oleh setiap pendekatan mengenai
fenomena sosial yang dikaji. Gabungan aplikasi pendekatan-pendekatan dalam
analisis tekstual semacam itu khusus dirancang supaya bisamemperlihatkan bentuk
pengetahuan tertentu yang disumbangkanoleh setiap pendekatan dan kekuatan
eksplanatoris kerangka perspektif ganda secara keseluruhan sebagai metodologi
penelitian sosial.
10.
Cara
menggabungkan pendekatan-pendekatan yang berbeda: isu- isu utama
Sewaktu melaksanakan penelitian analisis
wacana, perlu dipatuhi premis konstruksisosial yang menyatakan bahwa objek
penelitian itu sendiri tidak menentukan pilihan metodologis dan teoritis yang
dibuat. Penelitian tidak hanya mereflesikan realitas seperti itu. Namun,
kerangka filsafat dan teoretis memberikan konstribusi pada pengonstruksian
bidang kajian dengan cara tertentu dan dengan begitu pendekatan-pendekatan yang
berbeda bisa menyusun bidang kajian yang sama secara berbeda, dengan menekankan beberapa aspek saja dan
mengabaikan aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu, kerangka analisis wacana
hendaknya didasarkan pada dialog dengan bidang kajian ini, sehingga analisis
wacana mengenali dan bisa menjelaskan bagaimana kerangka analisis wacana itu
menciptakan objek atau sebaliknya dan menjelaskan hakikat pengetahuan yang
dihasilkan.
11.
Lingkungan
dan tindakan politik-sebuah contoh
Contoh ini diambil dari kajian tentang
lingkungan dan tindakan politik di Denmark yang dilakukan oleh Louise Philips.
Kajian ini didasarkan pada sebanyak 33 wawancara semi terstruktur dengan
indivvidu-individu, pasangan-pasangan dan kelompok-kelompok. Fokus kajian ini
ditujukan kepada wacana mereka yang berhubungan dengan lingkungan dan tindakan
politik atas dasar perkembangan kemasyarakatan dan modernitas mutakhir.
Perkembangan perkembangan tersebut meliputi proliferasi resiko, perubahan
hubungan antara keadaan global dan local dalam kaitannya dengan
persebarankomunikasi melalui masa dan lahirnya bentuk-bentuk politik baru
berdasarkan individualisasi dan budaya konsumen. Motivasi utama untuk melakukan
kajian tersebut adalah munculmya pandangan bahwa ada kebutuhan akan penelitian
yang lebih empiris yang secara sistematis menggunakan teori sosial agar bisa
mengekspresikan hubungan antara perkembangan kemasyarakatan umum dan
pembicaraan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam contoh ini kami
memusatkan perhatian kami pada salah satu tema utama kajian: cara
direpresentasikannya secara kewacanaan praktik konsumen environmentalis. Fokus utamanya
ditujukan pada cara orang mengatasi ketidakpastian dalam hidupnya atas
resiko-resikonya dan bagaimana mereka menegosiasikan tanggung jawabnya atas
masalah lingkungan.
12.
Analisis
tekstual dengan menggunakan tiga pendekatan pada analisis wacana: suatu ilustrasi
Menurut tiga pendekatan
menyajikan analisis gabungan seperti yang terdapat dalam konvensi penelitian
anasisis wacana. Perlu dicatat bahwa dalam kajian yang digunakan untuk analisis
ini, teori wacana Laclau dan Mouffe dimasukkan kedalam analisis tataran praktik
kewacanaan berdasarkan analisis wacna kritis, sebaliknya kami menyajikan
sebagai analisis yang mandiri. Meski tiga pendekatan itu memiliki penekanan
yang berbeda, tetapi ada derajad tumpang tindih jenis analisis yang cenderung
dihasilkannya. Juga, analisis ini tidaklah mendalam atau luas, namun ditujukan
untuk memberikan gagasan tentang bagaimana ketiga pendekatan itu masing-masing
digunakan dalam analisis. Juga perlu dicatat bahwa analisis khusus ini
merupakan bagian analisis yang lebih luas kisaran yang diacu dalam contoh telah
ditetapkan melalui analisis materi yang lebih luas bukannya naskah khusus ini.
Kami pertama-tama akan menerapkan pendekatan Laclau dan Mpffe, lalu analisis
wacana kritis dan terakhir psikologi wacana.
a.
Teori
wacana Laclau dan Moffe
Laclau dan Moffe sepeti yang sudah dikemukakan tidaklah memberi metode
kongkret analisis namun dari modal mereka bisa diambil sederet titik fokus
analitas. Pada bagian pertama wawancara, Laurits, Tim dan Jonathan semuanya
berbicara tentang suatu wacana ekologi. Wacana ekologis adalah wacana yang
menekankan pentingnya melindungi lingkungan berdasarkan pemahaman holistic
dunia ini. Ekologi merupakan titik nodal tempat diorganisasikannya tanda-tanda
lain seperti pemilah sampah, limbah yang didaur ulang. Wacana itu memetapkan
identitas hijau pada individu, dimana individu hendaknya secara aktif mengatasi
masalah lingkungannya dan mengenali perannya sebagai bagian alam yang terpadu.
Dengan begitu identitas individu dikonstruk di sekitar penanda utama agen
ekologis. Menurut wacana ini, melakukan perlindungan terhadap lingkungan
merupakan kehausan moral dan kurang peduli terhadap persoalan ini merupakan
sikap tidak bagus.
b.
Analisis
wacana kritis
Analisis wacana kritis menjelaskan konstruksi linguistik wacana-wacana
melalui analisis dimensi teks, dan sebagaimana dikemukakan di dalam bab ini,
fokus pada bahasan juga membantu mengidentifikasi dan membatasi wacana-wacana
itu. Selain itu anlisis wacana kritis melibatkan analitis sistematis praktik
sosial sebagai dimensi praktek kewacanaan yang berbeda secara analitis.
c.
Psikologi
kewacaan
Ditilik
dari psikologi kewacanaan, analisis ini memperhatikan bagaimana ekspresi
tanggung jawab pribadi dipertahankan dengan cara dilakukan pengecekan, dan
kegagalan melakukan tindakan politik dilegitimasi melalui pengguna yang
fleksibel oleh orang-orang terhadap wacana sebagai sumberdaya percakapan. Oleh
karena itu analisis organisasi etorika interaksi pada psikologi kewacanaan
sejalan dengan pandangan konsekuensi sosaail praktik kewacanaan analisis
kritis-suatu pandangan, bagaiman yang dikemukakan di atas, mendukung pemahaman
Bauman tentang privatisasi tanggung jawab.
13.
Validitas
Validitas adalah pertanyaan tentang
standar apa yang harus dipenuhi penelitian agar bisa dianggap sebagai
penelitian akademis yang layak. Dengan mengukur penelitian ini berdasarkan
criteria tertentu, bisa dievaluasi apakah penelitian ini masuk penelitian bagus
atau jelek.
F.
Penelitian
Konstruksionis Kritis
1.
Bagaimana
tentang realitas ?
Analisis wacana kritis
membedakan secara lebih tajam antara praktik kewacanaan dan nonkewacanaan.
Tujuan analisis wacana yang penting adalah menyingkap dan menggambarkan pemahaman
akal sehat yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dengan
mentransformasikannya ke dalam kemungkinan objek diskusi dan kritik dan oleh
sebab itu terbuka bagi perubahan.
2.
Tinjauan
ideologis
Tinjauan ideologi-yang menjamur tahun
1970an adalah hubungan kekuasaan dalam masyarakat dibarengi oleh bahasa
hegemonis dengan menyatakan realitas di balik ideologi. Tinjauan terhadap
ideologi yang dominan bertujuan menyingkap kekuasaan dengan menggunakan
kebenaran. Pemahaman tinjauan ini telah di kritik keras dari peniliti
konstruksionis sosial.
3.
Tinjauan
ideologi yang telah dimodifikasi
Analisis wacana kritis
Fairclough bisa dijadikan contoh versi tinjauan ideologi yang telah
dimodifikasi. Menurut analisis wacana kritis, wacana bisa kurang lebih bersifat
ideologis. Wacana-wacana yang lebih ideologis adalah wacana yang memberi
representasi realitas yang terdistorsi dan jadi memberi kontribusi pada upaya
pelestarian hubungan dominasi di masyarakat (Chouliaraki dan Fairclough 1999:
321). Akan tetapi analisis kritis ini dalam beberapa hal mengubah tinjauan
ideologi.
4.
Tinjauan
tentang tinjauan
Tentang tinjauan ini banyak yang
memperdebatkan antara mendukung dan menentang. Tapi tinjauan membekukan
perdebatan, yakni membatasi dan mempolarisasikan suara-suara yang bisa berpatisipasi
dalam perdebatan. Keinginan Gregen adalah adanya suatu perdebatan yang terdiri
atas kontribusi-kontribusi yang berbeda dan bersaing satu sama lain.
5.
Tinjauan
atas asal makna yang dianggap lumrah
Proyek kritis ini merupakan persoalan
denaturalisasi pemahaman realitas yang dianggap lumrah. Titik pijakannya adalah
bahwa representasi dunia kami itu selalu mungkin bisa
dilakukan-representasi-representasi itu sesungguhnya bisa berbeda-dan sewaktu
kita menganggap kalau sesuatu lumrah saja, kita lupa bahwa sesuatu itu bisa
saja berbeda. Bila sesuatu yang dianggap lumrah itu membatasi bidang kemungkina
untuk berfikir dan bertindak, penyingkapannya bisa membuka medan politik ke
arah kemungkinan lain dan oleh sebab itu bisa menggambarkan tujuan penelitian
kritis itu sendiri.
6.
Cara
mengidentifikasi sesuatu yang dianggap lumrah
Tanggapan pertama disebut redeskripsi analitis. Basil Bernstein
menyatakan bahwa kita menganggap teori sebagai “bahasa uraian” dan penerapan
teori tersebut sebagai penerjemahan materi empiris ke dalam bahasanya
(Bernstein 1996: Bab 6). Melalui proses penerjemahan ini, sebagai aspek materi
yang dianggap sebagai sesuatu lumrah didenaturalisasikan (cf Chouliaraki dan
Fairclough 1999). Tujuan analisis wacana adalah mencarikan makna-makna lain dari
materi selain yang disebutkan sebelumnya.
7.
Status
pengetahuan
Tiga pemahaman teoritis tentang
bagaimana peneliti bisa mengidentifikasi konstruk-konstruk dinaturalisasikan
dan lumrah yang ingin mereka temukan. Pertama,
kami menyarankan agar teori merupakan bahasa rediskripsi yang memerlukan
penerjemahan materi empiris, kedua,
kami membahas sudut pandang dari daerah pinggiran sekitarnya agar bisa
mendapatkan perspektif luar tentang daerah pusat dan ketiga kami menunjukan kesenjangan yang ada dalam struktur dominan
tempat bisa diproblematisasikannya kategori-kategori yang dinaturalisasikan.
8.
Tinjauan
sebagai pembukaan bagi pembahasan yang sudah disetel
Penelitian hendaknya berisi suatu
perspektif kritis. Dalam pengertian yang sangat luas kata “tinjauan”, kami
percaya bahwa mustahil bersikap sangat kritis. Untuk memproduksi teks, kita
tidak bisa menghindarkan diri menyatakan sesuatu tentang dunia, merepresentasikan
objektivitas, tidak bisa dihindarkan. Kenneth Gergen dan Bruno Latour
menyatakan bahwa tinjauan selalu memosisikan peneliti sebagai seseorang yang
memiliki pengetahuan yang lebih unggul.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kelebihan
Buku
Buku ini memberikan pengantar dalam
memahami bidang interdisipliner yang luas, juga memperlihatkan tiga pendekatan
yang berbeda pada analisis wacana, memberikan inspirasi bagi lahirnya
kajian-kajian analisis wacana yang baru. Selain itu juga memberi kemudahan
dalam menggunakan desain kerangka penelitian yang menggunakan lebih dari satu
pendekatan dari pendekatan-pendekatan tersebut dengan cara menyajikan dan
membahas premis-premis filsafat yang umum bagi semua bentuk analisis wacana
konstruksionis sosial. Analisis wacana bisa digunakan sebagai kerangka analisis
identitas kebangsaan.
B.
Kekurangan
Buku
Kekurangan
buku ini terletak pada pemakaian bahasa, kebanyakan menggunakan bahasa ilmiah
sehingga sulit dipahami oleh pembaca apalagi pembaca pemula, maka akan timbul
persepsi-persepsi yang berbeda. Penulisan teksnya kolektif sehingga memberikan
banyak corak dalam buku ini. Pelaksanaan ide-ide kurang dalam memperluas teks
ini.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Buku
ini memperkenalkan tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana
konstruksionis sosial, yakni teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,
analisis wacana kritis, dan psikologi kewacanaan. Teori dan metode tersebut
bisa diterapkan untuk menganalisis banyak domain sosial yang berbeda, termasuk
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, dan untuk mengeksplorasi peran
penggunaan bahasa dalam perkembangan-perkembangan budaya dan kemasyarakatan
yang luas seperti globalisasi dan persebaran komunikasi dengan mediasi massa.
Teori
wacana Ernesto Lclau dan Chantal Mouffe, merupakan teori postrukturalis yang
paling ‘murni” dalam bacaan ini. Teori ini titik pangkalnya dari gagasan
postrukturalis yang menyatakan bahwa wacana mengkosntruk makna dalam dunia
sosial dan karena secara mendasar itu tidak stabil, makna tidak pernah habis
secara permanen. Kata kunci teori ini adalah perjuangan kewacanaan (descursive struggle). Analisis wacana
kritis, fokus pembahasan khusus pada pendekatan Norman Fairclough, juga
menekankan peran aktif wacana dalam mengonstruk dunia sosial. Akan tetapi,
berlawanan dengan pendapat Laclau dan Mouffe, Fairclough menyatakan bahwa
wacana hanyalah merupakan salah satu di antara banyak aspek praktik sosial.
Bidang utama yang menarik dalam analisi wacana kritis yang dikemukakan
Fairclough adalah penyelidikannya terhadap perubahan. Psikologi kewacanaan,
sama-sama memiliki fokus kajian empiris dengan analisis wacana kritis yakni
persoalan-persoaln khusus penggunaan bahas adalam interaksi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Jorgensen, W. Marianne.
2010. Analisis Wacana: Teori &
Metode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Samsuri. 1990. Analisis wacana. Malang: IKIP malang.
Tarigan, H. G. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar