Senin, 07 Januari 2013

WACANA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebanyakan kasus yang mendasari penggunaan kata “wacana” adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda, misalnya dalam domain “wacana medis” dan “wacana politik”. Dengan demikian “analisis wacana” merupakan analisis atas pola-poa tersebut.
Meskipun demikian definisi berdasarkan akal sehat seperti ini tidak banyak membantu menjelaskan apa sesungguhnya wacana itu, bagaimana wacana itu berfungsi, atau bagaimana cara menganalisisnya. Dengan demikian, harus dicari teori-teori dan metode-metode analisis wacana yang lebih canggih.
Buku ini memperlihatkan lingkup bidang ini dengan jalan menyajikan dan membahas tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana yakni teori wacana Laclau dan Mouffe, analisis wacana kritis, dan psikologi diskursip. Kami menggambarkan ciri-ciri teoritis dan metodologis yang berbeda pada setiap pendekatan itu. Dengan memperlihatkan fakta empiris kami berharap bisa memberikan inspirasi bagi lahirnya kajian-kajian analisis wacana yang baru. Selain itu juga memberi kemudahan dalam menggunakan desain kerangka penelitian yang menggunakan lebih dari satu pendekatan dari pendekatan-pendekatan tersebut dengan cara menyajikan dan mebahas premis-premis filsafat yang umum bagi semua bentuk analisis wacana konstruksionis sosial.
Tentu saja, setiap pendekatan di atas hanya kami bahas sedikit, baik teori-teori maupun piranti-piranti metodologisnya. Untuk itu dalam laporan ini hanya bisa mendorong pembaca untuk mau mengeksplorasi lebih dalam di blantara analisis wacana ini.



B.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui teori-teori tentang analisis wacana dari para pakar bahasa. Serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulis laporan buku ini adalah unuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. isi buku Analisis Wacana: Teori & Metode karangan Marianna W. Jorgensen dan Louise J. Phillips.
2. keunggulan buku tersebut dibanding buku sejenis lainnya.
3. kelemahan buku tersebut dibanding buku sejenis lainnya.
C.    Manfaat
Laporan buku ini diharapkan mampu memiliki keunggulan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis diharapkan laporan buku ini menambah wawasan bagi para pembaca. Secara singkat diharapkan laporan buku ini menambah pengetahuan, wawasan, dan keilmuan bagi penulis maupun bagi pembaca.
D.    Identitas Buku
a.       Judul buku                        : Analisis Wacana: Teori & Metode
b.      Penulis                   : Marianna W. Jorgensen dan Louise J. Phillips
c.       Penerbit/kota         : Pustaka Pelajar/Yogyakarta
d.      Tahun terbit           : 2010
e.       Jumlah halaman     : 319 halaman
f.       Penerjemah            : Imam Suyitno, Lilik Wahyuni, dan Suwarna










BAB II
INTISARI BUKU

A.  Bidang Analisis Wacana
1.      Paket lengkap
Paket ini berisi pertama-tama premis filosofis (ontologis dan epistemologis) peran bahasa dalam konstruksi sosial dunia, kedua, model-model teoretis, ketiga, pedoman-pedoman metodologis cara mendekati suatu domain penelitian, dan keempat teknik-teknik khusus untuk melkasanakan analisis. Dalam analisis wacana, teori dan metode itu terkait satu sama lain dan peneliti hendaknya menerima premis-premis filsafat dasar tersebut agar bisa menggunakan analisis wacana sebagai metode kajian empirisnya Di sini perlu ditekankan bahwa kendati isi paket ini hendaknya memebentuk suatu keutuhan yang terpadu, ada kemungkinan bisa menciptakan paket kita sendiri dengan cara menggabungkan unsur-unsur yang berasala dari persfektif-persfektif nonanalisis wacana.
Karya persfektif ganda seperti ini tidak hanya diperbolehkan namun patut dihargai secara positif di kebanyakan bentuk analisis wacana. Karya persfektif ganda hendaknya dibedakan dengan eklektitisme yang didasarkan pada campuran pendekatan-pendekatan yang berbeda tanpa dilakukan pengukuran yang serius terhadap hubungan-hubungannya satu sama lain. Agar bisa mengkonstruk suatu kerangka yang runtut, perlu disadari adanya kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan filsafatis, teoretis dan metodologis diantara pendekatan-pendekatan tersebut.
2.      Premis-premis utama
Tiga pendekatan yang telah kami tetapkan untuk dibahas secara khusus di sini semuanya didasarkan pada konstruksionisme sosial. Kosnstruksionisme sosial merupakan istilah pokok yang memayungi sederet teori baru budaya dan masyarakat. Pertama=tama kami akan mengemukakan ikhtisar singkat asumsi-asumsi filsafat umum yang mendasari kebanyakan pendekatan analisis wacana, dengan menggunakan kosntruksionisme sosial yang diajukan oleh Vivien Burr (1995) dan Kenneth Gergen (1985). Kemudian kami akan memusatkan pembahasan terutama pada asumsi-asumsi bahasa dan identitas yang dicakup oleh semua pendekatan analisis wacana.
                                    Burr (1995:2-5), mengemukakan daftar empat premis yang sama-sama dimiliki oleh semua pendekatan konstuksionis, yang dibangun berdasarkan uraian yang dikemukakan Gergen (1985). Premis-premis tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Pendekatan kritis pada penegtahuan yang dianggap lumrah apa adanya.
Pengetahuan kita tentang dunia ini hendaknya tidak diperlakukan sebagai kebenaran objektif. Realitas hanya bisa kita akses melalui kategori-kategori, dengan demikian pengetahuan kita dan representasi dunia ini bukanlah refleksi realitas “di luar sana”, namun merupakan hasil yang kita capai dalam mengategorisasikan dunia ini, atau dalam istilah analitis kewacanaan, merupakan produk wacana (Burr 1985:3;Gergen 1985:266-7).
b.    Kekhususan kultural dan historis (Burr 1995:3)
Pada dasarnya kita merupakan manusia kultural dan historis dan pandangan terhadap pengetahuan kita tentang dunia ini merupakan produk pertukaran-pertukaran berdasarkan situasi secara historis di antara orang-orang (Gergen 1985: 267). Wacan merupakan bentuk tindakan sosial yang memainkan peran dalam menghasilkan dunia sosial termasuk hubungan sosial, identitas dan penegtahuan dan dengan demikian juga memepertahankan pola-pola sosial yang khusus. Pandangan ini anti-esensialis: bahwa dunia osisal itu dikosntruk secara sosial dan kewacanaan yang menyiratkan bahwa sifatnya tidak diberikan atau ditetapkan sebelumnya oleh kondisi-kondisi eksternal, dan bahwa masyarakat tidaklah memiliki sederet esensi atau sifat yang tepat dan otentik.



c.    Hubungan antara pengetahuan dan proses sosial
Cara kita dalam memahami dunia ini diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial (Burr 1985: 4; Gergen 1985: 286). Pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial tempat kita mengkonstruk kebenaran-kebenaran bersama dan membandingkan apa yang benar dna apa yang salah.
d.    Hubungan antara pengetahuan dna tindakan sosial
Dalam pandnagan dunia tertentu, beberapa bentuk tindakan menjadi alami, sedangkan bentuk-bentuk tindakan lain tidak bisa dipertimbangkan. Pemahaman sosial yang berbeda terhadap dunia ini mengiring ke arah tindakan-tindakan sosial yang berbeda dan juga kosntruk sosail penegtahuan dan kebenaran memiliki konsekuensi-konsekuensi sosail (Burr 1995: 5; Gergen 1985: 268-269).
3.      Tiga pendekatan pada wacana
Teori wacana Ernesto Lclau dan Chantal Mouffe, merupakan teori postrukturalis yang paling ‘murni” dalam bacaan kita ini. Teori ini titik pangkalnya dari gagasan postrukturalis yang menyatakan bahwa wacana mengkosntruk makna dalam dunia sosial dan karena secara mendasar itu tidak stabil, makna tidak pernah habis secara permanen. Kata kunci teori ini adalah perjuangan kewacanaan (descursive struggle). Analisis wacana kritis, fokus pembahasan khusus pada pendekatan Norman Fairclough, juga menekankan peran aktif wacana dalam mengonstruk dunia sosial. Akan tetapi, berlawanan dengan pendapat Laclau dan Mouffe, Fairclough menyatakan bahwa wacna hanyalah merupakan salah satu di antara banyak aspek praktik sosial. Bidnag utama yang menarik dalam analisi wacana kritis yang dikemukakan Fairclough adalah penyelidikannya terhadap perubahan. Psikologi kewacanaan, sama-sama memiliki fokus kajian empiris dengan analisis wacana kritis yakni persoalan-persoaln khusus penggunaan bahas adalam interaksi sosial. pembahasan tentang hakikat penelitian kritis yang terdapat dalam paradigma kosntruksionisme sosial. Di sini, kami membahas dan mengevaluasi sederet usaha untuk menangani masalah-masalah yang muncul sewaktu melaksanakan penelitian kritis di sepanjang garis kosntruksionis sosial yang memusatkan perhatian pada sudut pandnag mereka yang berbeda dalam membahas pertanyaan tentang realitivisme dan status kebenaran dan pengetahuan.
4.      Dari sistem bahasa ke wacana
Saussure menyatakan bahwa tanda (sign) terdiri atas dua sisi, bentuk (signifiant) dan isi (signifie), dan bahwa hubungan antara kedua itu sifatnya arbitrer (Saussure 1960). Saussure menganjurkan agar struktur tanda dibuat menjaadi pokok persoalan linguistik. Saussure membedakan antara dua tataran bahasa yakni language dan parole. Langue adalah struktur bahasa, yaitu jaringan tanda-tanda yang memberi makna satu sama lain dan struktur ini sifatnya tetap dan tak bisa diganti-ganti. Sebaliknya, parole merupakan penggunaan bahasa berdasarkan situasi, tanda yang benar-benar digunakan pemakai bahasa itu dalam situasi-siatuasi tertentu, parole harus selalu didasarkan pada langue, karena langue itu merupakan struktur bahasa yang memungkinkan bisa diciptakannya pernyataan-pernyataan khusus. Namun dalam tradisi Saussurean, parole sering dipandang sebagai sesuatu yang acak dan banyak dilemahkan oleh idiosinkrasi-idiosonkrasi dan kesalahan-kesalahan penggunanya sehingga membuatnya dianggap tidak layak sebagai objek penelitian ilmiah.
Tidak semua pendekatan analisis wacana secara jelas berkiblat pada postrukturalisme, tetapi semua menyepakati ide-ide utama berikut.
a.    Bahasa bukanlah merupakan refleksi realitas yang telah ada sebelumnya.
b.    Bahasa terstruktur dalam pola-pola atau wacana-wacana. Tidak hanya ada satu sistem umum makna sebagaimana yang dikemukakan strukturalisme Saussurean namun terdapat serangkaian sistem atau wacana, tempat makna-makna bisa berubah dari wacana satu ke wacana lain.
c.    Pola-pola kewacanaan itu dipertahankan dan ditransformasiklan dalam praktik-praktitk kewacanaan.
d.   Oleh karena itu pemeliharaan dan trnasformasi pola-pola tersebut hendaknya dieksplorasi melalui analisis konteks-konteks khusus tempat bertindaknya bahasa.
5.      Genealogi dan arkeologi foucault
Michael Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoretis dan penelitian praktis. Secara tradisional, karya Foucault terbagi antara fase “arkeologi” awal dan fase “geneaologi” akhir. Kendati keduanya tumpang tindih, dan Foucault terus menggunakan piranti-piranti dari arkeologinya dalam karya-karya berikutnya. Foucault menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rejim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam kerja genalogisnya. Foucault mengembangkan teori kekuasaan/pengetahuan. Bukannya memperlakukan agen-agen dan struktur-struktur sebagai kategori-kategori primer, foucault memusatkan perhatiannya pada kekuasaan. Konsep Foucault tentang kekuasaan/pengetahuan juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi terhadap konsepsinya tentang kebenaran. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akses ke kebenaran universal karena mustahil membicarakannya dari posisi di luar wacana; tidak ada jalan untuk lolos dari refresentasi. Dalam wacana tercipta “efek kebenaran”.
6.      Subjek
Foucault juga telah memberikan titik awal bagi pemahaman analisis wacana terhadap subjek. Menurut Foucault, subjek itu tidak terpusat (decentered). Di sisni, Foucault dipenegaruhi oleh gurunya, Louis Althusser.
7.      Penolakan determinisme
Fokus penelitian ini ditujukan pada teks-teks (terutama teks media masa), bukan pada penerimaan atau pemroduksian teks karena para peneliti menganggap cara kerja ideologis dan efek teks itu sebagai sesuatu yang lumrah. Namun sejak akhir tahun 1970an, persfektif Althusser telah mendapatkan kritik dari beberapa kritik dari beberapa sisi. Pertama, diajukan pertanyaan tentang kemungkinan timbulnya perlawanan kepada pesan-pesan ideologis yang disodorkan kepada subjek yakni pertanyaan mengenai kebebasan tindakan atau agensi subjek. Kedua, ketiga pendekatan analisis wacana yang disajikan dalam buku ini mneolak pemahaman dunia sosial sebagai dunia yang diatur oleh suatu ideologi yang utuh. Pendekatan-pendekatan yang berbeda itu telah mengembangkan konsep-konsep yang berbeda mengenai subjek yang akan kita bahas pada bab-bab mendatang.
Namun umumnya, bisa dikatakan bahwa semua pendekatan memandang subjek sebagai sesuatu yang diciptakan dalam wacana dan dengan begitu sebagai sesuatu yang tidak terpusatkan yang merupakan penataan subjek sebagai fokus utama anlisis empiris. Pokok persoalan ketiga dan terakhir yang kontroversial dalam teori Althusser adalah konsep ideologi itu sendiri. Kebanyakan konsep ideologi, termasuk konsep ideologi Althusser, menyiratkan bahwa akses pada kebenaran mutalk bisa dicapai, ideologi menyebabkan distorsi hubungan-hubungan sosial yang riil dan jika ingin membebaskan diri kita sendiri dari ideologi, kita harus mendapatkan akses ke hubungan-hubungan sosial dan ke kebenaran.
8.      Perbedaan antara pendekatan-pendekatan
Divergensi cara pandang terhadap ideologi hanyalah merupakan salah satu perbedaan antara tiga pendekatan pada wacana. Dalam pokok bahasan berikut, kami akan menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pendekatan-pendekatan dalam kaitannya. Pertama-tama, dengan peran wacana dalam penjelasan itu, perbedaan –perbedaan itu hanya masalah derajat saja dan kami akan memosisikan pendekatan-pendekatan itu dalam hubungannya satu sama lian pada dua garis kontinum yang akan kita jadikan acuan dalam buku ini.
9.      Peran wacana dalam penyusunan dunia
Bagi ke tiga pendekatan itu, fungsi wacana-praktik kewacanaan merupakan praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Konsep “praktik sosial” memandang tindakan dari sudut pandang ganda: di satu sisi, tindakan itu bersifat kongkret, dan individu dan konteks sifatnya terikat. Namun di sisi lain, tindakan-tindakan juga terlembagakan dan terikat sosial dan karena itu muncul kecenderungan ke arah pola-pola regularitas. Analisis wacana kritis Fairclough memberikan konsep wacana untuk teks, pembicaraan, dan sisitem semiologis lain (mis. Isyarat dan basa basi) dan membuat konsep ini tetap berbeda dengan dimensi-dimensi praktik-praktik sosial.
10.  Fokus analitis
Pada garis kontinum ini, fokusnya ditujukan pada perbedaan-perbedaan derajad bukan kualitatifnya, meskipun psikologi kewacanaan difokuskan pada praktik keseharian orang-orang, psikologi ini senantiasa melibatkan struktur kemasyarakatan yang lebih luas yang ditransformasikan atau dilakukan oleh orang-orang dalam praktik kewacanaan. Kendati teori wacana Laclau dan Mouffe paling tertarik pada wacana-wacana yang “didepersonalisasikan” dan yang lebih abstrak, gagasan bahwa wacana-wacana itu diciptakan, dipertahankan dan diubah ke sejumlah praktik keseharian sifatnya implisit dalam teori ini.
Namun pada saat yang sama, posisi-posisi pendekatan-pendekatan yang berbeda pada garis kontinum itu mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan penekanan teoretisnya. Psikologi kewacanaan jauh lebih tertarik pada penggunaan wacana seacara aktif dan kreatif sebagai sumber daya untuk mencapai tindakan-tindakan sosial dalam konteks-konteks khusus interaksi dibandingkan teori wacana Laclau dan Mouffe.
11.  Peran analisis wacana
Bagi analisis wacana, tujuan penelitian adalah tidak untuk “menyongkong” wacana, menemukan apa yang benar-benar dimaksudkan orang ketika mereka mengatakan ini atau itu, atau menemukan realitas di balik wacana. Titik awalnya adalah bahwa realitas tidak pernah bisa dicapai di luar wacana dan dengan begitu wacana itu sendirilah yang mnejadi objek analisisnya. Dari pendekatan-pendekatan yang kami sajikan, masalah mengenai cara mengatasi kemungkinan kebenaran ternyata paling penting dalam psikologi kewacanaan dan teori wacana Laclau dn Mouffe. Pada prinsispnya, peneliti harus mampu menghasilkan wacana nonideologis. Namun masalah tersebut muncul kembali karena munculnya pertanyaan tentang bagaimana membedakan antara wacana yang ideologis dan yang nonideologis dan pertanyaan siapa yang cukup banyaka dibebaskan dari tindak pengonstruksian kewacanaan dunia agar dihasilkan pembedaan ini.
B.  Teori Wacana Laclau dan Mouffe
1.      Teori “ subjek” Laclau
                             Dalam teks yang ditulis Laclau dalam bukunya Hegemony and Socialist study, dia mengimpor teori-teori Jackues Laclau melalui Slavoj Zizek dalam upayanya untuk mengembangkan lebih lanjut konsep “subjek “,Laclau menggunakan teori Laclau untuk memberi individu sesuai dengan yang tak disadarinya sehingga bisa menjelaskan mengapa orang membiarkan dirinya diinterpelasikan oleh wacana.
Terori  Laclau dimulai dari bayi (manusia). Laclau menyatakan bahwa ada kenyentrikan “kenyentrikan radikal diri sendiri bila dihadapkan pada manusia “ (Laclau 1977a: 171) tanpa mempedulikan dimana subjek diposisikan oleh wacana, perasaan kesempurnaan itu tidak bisa muncul. Dengan memauskan pemahaman Laclau tentang subjek, teori wacana telah memberikan subjek “ daya dorong” karena senantiasa teori ini mencoba ”menemukan dirinya sendiri” melalui investasinya pada wacana-wacana.
    Pemahaman identitas dalam teori wacana Laclau dan Mouffe bisa diikhtisarkan sebagai berikut :
a.    subjek pada dasarnya terbelah, dia tidak pernah cukup bisa menjadi “dirinya”.
b.   subjek memperoleh iddentitasnya dengan diwakili secara kewacanaan.
c.    dengan demikian, identitas merupakan identifikasi dengan posisi subjek dalam struktur kewacanaan.
d.   identitas secara kewacanaan tersusun melalui jainan kesepadanan tempat tanda-tanda dipilah atau dihubungkan bersama dengan rantai-jalinan yang berlawanan dengan jalinan-jalinan lain  sehinga bisa menetapkan  seperti  atau tidak seperti apa subjek itu.
e.    identitas senantiasa diorganisasikan seacar relasional; subjek merupakan sesuatu karena diperbandingkan dengan sesuatu yang merupakan subjek itu.
f.    identitas bisa diubah sama seperti wacana.
g.   subjek difragmentasikan atau disentralisasikan. Subjek memiliki identitas-identitas  yang berbeda sesuai dengan wacana-wacana yang membentuk bagian subjek itu.
h.   subjek ditetapkan secara berlebihan. Prinsipnya, subjek selalu memiliki identitas secara berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda. Oleh karena itu, identitas tertentu itu bersifat mungkin yakni, mungkin namun tidak harus.
2.      Formasi kelompok
Bagi Laclau dan Mouffe, sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, formasi kelompok atau identitas kolektif dipahami sebagai identitas individu menurut prinsip-prinsip yang sama. Seperti yang telah kita lihat pada kritiknya terhadap Marxisme, Laclau dan Mouffe menyatakan bahwa tidak ada kondisi objektif yang menentukan pembagian kelompok-kelompok ke dalam ruang sosial.
Poses kewacanaan seperti itu bisa ditampung dalam pasangan konsep Laclau dan Mouffe “ logika kesepadanan” dan “ logika perbedaan” ( Laclau dan Mouffe 1985 : 127ff). Logika  kesepadanan (logic of equivalance) bisa dijalankankan bila semua orang non kulit putih secara berangsur-angsur di identifikasi sebagai orang kulit hitam : kekhusuan semua asal muasal dan warna kulit yang berbeda dimasukan kedalam satu kategori “ kulit hitam” dan “kulit putih” didefinisikan bertentangan dengan apa yang tidak bekulit putih , yakni, sebagai orang yang tidak berkulit putih .
3.      Representasi
Unsur penting yang terdapat dalam proses formasi kelompok adalah representasi. Karena kelompok secara sosial tidak bisa ditetapkan sebelumnya, kelompok-kelompok itu tidak ada samapai disusun dalam wacana.
Namun menuut Laclau dan Mouffe, tidak kelompok yang objektif  karena kelompok-kelompok selalu diciptakan melalui pengonstrusian kesepadanan yang bersifat tergantung di antar unsur-unsur yang berbeda. Eric Hobsbawn (dari sudut pandang Marxist yang lebih agak tradisional ) telah mereflesikan pandanganya pada proses penciptaan identitas kelompok di tahun-tahun sebelum PD 1(Hobsbawn 1990 : 122 ff). di akhir abad ke 19, rasa handabeni orang-orang terhadapa negara bangsa tumbuh subur dan pembagian dunia di sepanjang garis kebangsaan tampaknya semakin dianggap sesuatu yang alami.
Hobswan tidak memperaktikan analisis wacana, tapi sebagaimana yang telah kami kemukakan, analisisnya masih berfungsi sebagai contoh tentang sebenarnya seperti apa analisis wacana proses politik dan kewacanaan itu.
4.      Antagonisme dan hegemoni
Perjuangan menciptakan penciptaan makna merupakan tema yang sedang dikupas dalam bab ini, dan dalam perspektif teoretis wacana, konflik dan perjuangan lazim terjadi dalam dunia sosial, sehingga perjuangan menjadi fokus penting dalam analisis khusus.
Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacan selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda-beda dan menetapkan pedoman-pedoman lain bagi tindakan sosial. Antagonisme sosial telah terjadi bila identitas-identitas yang berbeda saling meniadakan satu sama lain. “Hegemoni” mirip dengan wacana karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegemonis mencapai perasaan mendalam lintas wacan-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Jadi intervensi hegemonis adalah proses yang terjadi dalam bidang antagonistis, dan hasilnya adalah wacana- perasaan baru yang mendalam terhadap makna.
5.      Cara menggunakan teori wacana
Sebagaiman yang telah kami sebutkan diatas, Laclau dan Mouffe tidak banyak melakukan analisis terinci materi-materi mereka. Namun hal ini tidak berarti bahwa teori atau konsep Laclau dan Mouffe tidak digunakan dalam analisis empiris yang terinci. Teori atau konsep mereka tetap bisa di pakai tapi memerlukan sedikit imajinasi. Disini,kami akan melakukan rekapitulasi sebagai konsep Laclau dan Mouffe tyang kami anggap berguna sebagai alat untuk melakukan analisis empiris :
a.    Titik nodal mitos, dan penanda utama, yang secara kolektif disebut dengan penanda utama dalam organisasi wacana ;
b.    Konsep jalinan kesepadanan mengacu pada investai penanda utama dengan makna ;
c.    Jonsep-konsep tentang identitas : formasi kelompok, identitas dan representasi ; dan
d.   Konsep-konsep untuk analisis konflik : penanda pengembangan, antagonisme dan hegemoni.
6.      Kontigensi dan permanensi
Sekarang jelas bahwa titik awal teori wacana Laclau dan Mouffe adalah segala sesuatu mungkin saja terjadi atau bersifat kontogensi. Semua wacana dan artikulasi dan juga semua saspek penomena sosial sesunggunya bisa berbeda dan menjadi berbeda.
Lilie Chouliaraki dan Norman Fairclough(1999: 125) misalnya menyatakan bahwa Laclau dan Mouffe secara berlebihan memandang fakta bahwa tidak semua individu dan kelompok memiliki kemungkinan yang sama untuk bisa menyatakan kembali unsur-unsur yang ada dengan cara-cara baru dan dengan begitu bisa menciptakan perubahan. Misalnya Lilie couliaraki dan Norman Fairclugh  merujuk pada satu situasi dimana seorang pabrik oleh seorang pelangganya diwajibkan untuk mematuhi standar mutu tertentu yang melibatkan pendokumentasian proses kerjanya (1999: 127ff.)
Kami sepakat dengan chouliaraki dan Fairchough bahwa kita perlu menyertakan pertimbangan-pertimbangan mengenai permanensi dan batas ketika menganalisis fenomena sosial dan kami juga sepakat bahwa aspek ini kadang memang penting dalam teori wacana Laclau dan Mouffeseperti ketika misalnya mereka mengacu pada “ aliran terus menerus yang berlebihan pada setiap wacana  yang disebabkan oleh tak terbatasnya medan kewacanaan “(1985: 113; huruf miring sesuai dengan asalnya).
C.  Analisis Wacana Kritis
1.      Lima ciri umum
Di antara  pendekatan pendekatn yang berbeda dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum. Ciri-ciri umum itulah yang memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan terebut  ke dalam gerakan yang sama. Dalam uraian berikut kami kemukakan tinjauan  Fairclough dan Wodak (1997 : 271ff.)
a.     Sifat struktur dan proses kultural dan sosial merupakan sebagian linguistik – kewacanaan
Praktik-praktik kewacanaan tempat dihasilkan(diciptakan) dan dikonsumsi ( diterima dan diinterprestasikan) teks- dipandang sebagai bentuk paling praktik sosial yang memberikan kontibusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup hubungan-hubungan dan identitas sosial-sosial.
Tujuan wacana analisis adalah menjelaskan dimensi inguistik-kewacanaan fenomena soaial dan kultural dalam proses perubahan dalam modernitas terkini.
b.   Wacan itu tersusun dan bersifat konstitutif
Bagi analis wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktis sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain.
Sebagai contoh, Fairclough (199b) menyatakan bagaimana struktur sosial  mempengaruhi praktik-praktik kewacanaan. Hubungan antara anak dan orang tua sebagian tersusun secara kewacanaan, demikian kata, Fairclough, namun sekaligus, keluarga merupakan suatu lembaga yang memiliki praktik-praktik kongkret identitas dan hubungan-hubungan yang telah ada sebelumnya. Praktik,hubungan dan identitas tersebut aaslinya tersusun secara kewacanaan,akan tetapi telah mengendap dalam lembaga-lembaga dan praktik-praktik non kewacanaan.
c.    Penggunaan bahasa hendaknya dianalisis secara empiris dalam konteks sosialnya
Analisis Laclau dan Mouffe menggarap analisis tekstual linguistik yang kongkret atas penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Contoh yang dikemukakan dalam bagian akhir bab ini memperlihatkan bagaimana melaksanakan analisis tekstual dalam analisis wacana.
d.  Fungsi wacana secara ideologis
Dalam analisis Laclau dan Mouffe, dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara kelompok-kelompok sosial – misalnya, antara kelas sosial, perempuan dan laki-laki, kelompok minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis.
Analisis wacana kritis itu bersifat kritis maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkapkan peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan upaya dunia sosial , termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan.
e.   Penelitian kritis
Oleh sebab itu, analisis wacana kitis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral (sebagaimana ilmu sosial yang objektivis), namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik ditunjukan bagi timbulnya perubahan sosial.
2.      Perbedaan antara pendekatan-pendekatan yang diuraikan di atas
Meski ada lima ciri umum sebagaimana yang dikemukakan di atas, pada perbedaan-perbedaan-perbedaan mencolok antara pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis ditilik dari pemahaman teoretisnya tentang wacana, ideologi dan perseptik historis serta juga metode yang digunakan untuk kajian empiris penggunaan bahasa dan interaksi sosial  dan efek ideologisnya.
3.      Analisis wacana kritis Fairclough
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelimnya perbedaan penting antara Fairclough (dan analisis wacana kritis secara umum ) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif namun juga tersusun.
Pendekatan Fairclough merupakan bentuk wacana analisis yang beriorentasi pada teks dan yang berusaha menyatukan tiga tradisi (Fairclough 1992b: 72) yakni :
a.    analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik (termasuk tata bahsa fungsinal Michael Halliday).
b.    analisis makro –sosiologis praktik sosial ( termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan  meteodologi untuk menganalis teks-teks khusus).
c.    tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologis (termasuk etnometeodologi dan analisis percakapan ) di mana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan orang-orang.
4.      Model tiga dimensi Fairclough
a.      Konsep-konsep utama
Fairclough menerapkan konsep wacana dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Dalam pengertian yang paling abstrak, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Di atas kami telah menggunakan istilah pernyataan ini bebrapa kali misalnya dalam pernyataan “wacana itu bersifat konstitutif dan tersusun.” Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu jenis bidang khusus, seperti wacan politik atau ilmiah. Ketiga dalam penggunaan yang paling konket, wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang bisas dihitung( suatu wacana, wacana tertentu wacana-wacana,wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara bertutur yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari presptik tertentu.
Wacana memberikan konstribusi pada pengonstruksian :
·    identitas sosial
·   hubungan sosial dan
·   sistem pengetahuan dan makna
Dalam analisis manapun, ada dua dimensi wacana yang sangat penting     yakni :
·   peristiwa komunikatif – misalnya oenggunaan bahasa seperti artikel surat kabar,film,vidio,wawancara atau pidio politik ( Fairclough 1995b) dan
·   tatanan wacana – konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga atau bidang sosial. Jenis-jenis wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran)
Aliran adalah penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian praktik sosial tertentu, misalnya aliran wawancara, aliran berita atau aliran iklan ( 1995b : 56).
Dengan demikian analisis peristiwa komunikatif meliputi :
·      analisis wacana dan aliran yang diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian teks( tingkat praktik kewacanaan )
·      analisis struktur lingusitik (tingkat teks ); dan
·      pertimbangan mengenai apakah praktik kewacanaan memproduksi, bukanya merestrukturisasi tatananwacana yang ada dan mengenai apa konsekuensi yang timbul bagi praktik sosial yang lebih luas ( tingkat praktik sosial).
Tujuan umum tiga dimensi itu adalah memberikan kerangka analitis bagi wacana.
b.      Tatatanan wacana dan peristiwa komunikatif
Fairclough memahami hubungan antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai hubungan yang bersifat dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem, namun bukan sistem dalam pengetian strukturalis,myakni, peristiwa-peristiwa komunikatif tidak hanya merefrodiksi tatanan wacana.
c.       Antartekstualitas dan antarkewacanaan
Antarkewacanaan terjadi bila aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam suatu peristiwa komunikatif. Antarkewacanaan merupakan bentuk antar tekstualitas. Antartekstualitas mengacu pada kondisi tempat bergantungnya peristiwa komunikatif pada peristiwa-peristiwa terdahulu.

5.      Wacana ideologi dan hegemoni
Ideologi, bagi Fairclough merupakan “makna yang melayani kekuasaan “ (Fairclough 1995b: 14) lebih tepatnya, dia memahami ideologi sebagai pengonstruksian makna yang memberikan konstribusi bagi pemproduksian, preprodusian dan transformasi hubungan-hungan dominasi (Fairclough 1992b: 87 ; cf.  Chouliaraki dan Fairclough 1999:26f) ideologi tercipta dalam masyarakat-masyarakat.
Menurut Fairclough, konsep hegemoni memberikan alat yang bisa kita gunakan untuk menganalis bagaimana praktik kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial yang luas yang melibatkan hubungan kekuasaan : praktik kewacanaan bisa dipandang sebagai aspek perjuangan hegemonis yang memberikan kontribusi bagi refroduksi dan transformasi tatanan wacana yang merupakan bagianya ( dan akibatnya juga hubungan kekuasaan yang ada ).
6.      Metode desain penelitian
Dalam analisis yang menerpakna kerangka Fairclough berikut,  kami mencakup enam fase penelitian yang berbeda, dari rumusan masalah hingga penggunaan hasil penelitian. Kami memusatkan pembahasan pada fase analisis dengan menatanya sesuai dengan model tiga dimensinya Fairclough.
a.      Pemilihan masalah penelitian
Dari namanya, analisis wacana kritis dimaksudkan untuk menghasilkan penelitian sosial kritis, yakni penelitian yang memberikan konstribusi bagi koreksi atau ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam masyarakat . Chouliaraki dan Fairclough mendefinisikan tujuan analisis wacana kritis sebagai kritik eksplanatoris dengan mengambil konsep Roy Bhaskar (Bhaskar 1986, dalam Chouiaraki dan Fairclough 1999: 33, Fairclough 2001: 235-236)
b.      Rumusan penyataan penelitian
Kerangka tiga dimensi wacana menata semua komponen desain penelitian termasuk rumusan pertanyaan penelitian. Prinsip utamanya adalah bahwa praktikk kewacanaan memiliki hubungan dialektis dengan praktik sosial lain: wacana disisipkan secara sosial.
c.       Pilihan materi
Pilihan materi penelitian tergantung pada beberapa aspek :pertanyaan penelitian, pengetahuan penelitian, pengetahuan penelitian tentang materi yang relevan dalam dominan sosial atau lembaga yang ingin diteliti dan apakah dan bagaimana kita bisa mendapatkan akses kesitu.
d.      Transkripsi
Tidak ada transkripsi dalam contoh yang dikemukanan Fairclough karena korpus materinya tidak mencakup wawancara atau bentuk-bentuk pembicaraan yang lain. tapi jika pembicaraan memang digunakan sebagai materinya, perlu ditranskripsikan terlebih dulu – atau paling tidak ditranskripsikan sebagian.
e.       Analisis
1)        Teks
Fairclough mengusulkan sejumlah piranti bagi analisis teks. Mereka yang memiliki latar  belakang linguistik mungkin mengenal istilah-istilah berikut:
·           Kendali intruksional – hubungan antara penutur-penutur, termasuk pertanyaan tentang siapa yang menetapkan agenda percakapan (Fairclough 1992b: 152ff);
·           Etos : bagaimana identitas dikontruk melalui bahasa dan aspek-aspek tubuh (1992b : 166ff)
·            Metafora (1992b: 194ff);
·            Kata (1992b: 190)15 dan
·            Tata bahasa (1992b; 158ff.,169ff)
2)   Praktik sosial
                    Sampai sekarang kita telah menganalisis teks sebagai teks dan sebagai praktik kewacanaan. Untuk itu marilah kita mengalihkan perhatian kita pada praktik sosial yang salah satu bagianya adlah dimensi-dimensi berikut. Pertama, hendaknya dilakukan eksplorasi hubungan antara praktik kewacanaan dan tatanan wacana
          ( Fairclough 1992b : 237). Kedua, tujuan yang ingin dicapai adalah memetakan hubungan kultural, sosial dan nonwacana dan struktur yang menyusun konteks lebih luas praktik kewacanaan itu- matriks wacana, dalam istilah Fairclough ((Fairclough 1992b : 237).
7.      Hasil-hasil penelitian
Menurut Fairclough, analisis wacana  hendaknya mempertimbangkan masalah-masalah etika tertentu tentang penggunaan umum hasil-hasil penelitianya. Peneliti perlu mengetahui bahwa ada resioko  kalau hasil penelitianya bisa digunakan sebagai sumberdaya rekayasa sosial.
8.      Beberapa komentar kritis
Satu cara memecahkan masalah teoritis dalam membedakan antara momen kewacanaan dan nonkewacaan adalah memperlakukannya sebagai pembedaan analitis bukannya empiris. Sebagaimana yang dikemukakan Laclau dan Mouffe, sulit menunjukkan secara tepat garis batas antara system kewacanaan dan non kewacanaan.
Kekurangan yang dimiliki Fairclough seperti halnya yang ada pada jenis-jenis analisis wacana kritis lainnya adalah pemahaman yang lemah secara teoritis tentang proses pembentukan kelompok, subjek dan agensi, termasuk pertanyaan-pertanyaan tentang subjektifikasi dan subjektivitas dan seberapa banyak kendali yang bisa dimiliki orang-orang terhadap penggunaan bahasanya. Meski sejauh ini Fairclough memberikan penekanan bahwa wacana ambil bagian dalam mengonstruk hubungan dan identitas sosial (selain pengetahuan dan sistem makna), dia tidak bisa dikatakan telah sepenuhnya merupakan aspek-aspek psikologi sosial, namun aspek-aspek tersebut merupakan unsur terlemah teorinya. Kebanyakan kajian mereka terdiri atas analisis tekstual, meski Fairclough menyatakan bahwa analisis tekstual itu hendaknya digabungkan dengan analisis praktik produksi dan konsumsi teks (Fairclough 1995b: 33).
Perbedaan penting yang ada antara pendekatan Fairclough dan pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis lain adalah pemahamannya terhadap wacana dan sistem sosialnya yang lebih bersifat posstruktural. Konsepsi tentang wacana sebagai sesuatu yang bersifat konstitutif mendasari timbulnya minat empirisnya pada peran dinamis wacana dalam perubahan sosial dan cultural. Selain itu, pendekatan-pendekatan lain cendrung menganggap wacana sebagai cerminan struktur dasar dan juga memusatkan perhatiannya secara empiris pada peran wacana dalam reproduksi sosial.
D.  Psikologi Kewacanaan
1.      Ikhtisar
Hal-hal pokok yang ada pada untaian psikologi kewacanaan, secara sederhana, bisa diikhtisarkan sebagai berikut:
a.    Wacana didefinisikan sebagai penggunaan bahasa dalam pembicaraan dan teks sehari-hari merupakan bentuk dinamis sosial yang mengonstruk dunia sosial, identitas dan diri individu.
b.    Wacana paling bagus dipandang tidak sebagai sistem yang abstrak (kecendrungan dalam teori wacana strukturalis dan postrukturalis) namun sebagi penggunaan bahasa berdasarkan situasi dalam konteks terjadinya penggunaan bahasa itu.
c.    Orang menggunakan wacana secara retoris untuk mencapai bentuk-bentuk tindakan sosial dalam konteks-konteks interaksi tertentu. Dalam hal ini penggunaan bahasa sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian fokus analisis ini tidaklah ditunjukan pada organisasi linguis teks dan pembicaraan seperti dalam kewacanaan kritis, melaikan pada organisasi retoris teks dan pembicaraan.
d.   Bahasa disusun dengan mengurangi versi-versi alternatif.
e.    Bahasa menyusun orang yang tak sadar maupun kesadaran. Teori psikionalitis bisa digabungkan dengan analisis wacana agar bisa menjelaskan mekanisme-mekanisme psikologis yang mendasari intervensi selektif orang-orang dan orang yang tak terpehitungkan dalam wacana tertentu dari sederet wacana yang ada.
2.      Metode dan desain penelitian
a.      Pertanyaan-pertanyaan penelitian
    Sebagimana yang ada pada pendekatan pendekatan kualitatif yang lain, pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam psikologi kewacanaan mengarah pada analisis pemroduksian makna. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengarah pada kajian bagaimana orang, melalui praktik kewacanaan, menciptkan konstruksi dunia, kelompok dan identitas.
b.      Pemilihan sampel
    Analisis wacana memerlukan waktu yang lama. Selain waktu yang dihabiskan untuk menjalankan sistem analisis yang sistematis, juga harus disediakan waktu untuk membaca dan membaca kembali teks-teks. Tentang ukuran sampel, perlu sering digunakan sampel beberapa teks saja (misalnya, sepuluh wawancara) (Potter dan Wetherell, 1987: 161). Alasannya adalah bahwa fokus pembahasannya ditujukan pada penggunaan bahasa bukannya individu dan bahwa pola-pola kewacanaan bisa diciptakan dan dipertahankan oleh beberapa orang saja (Potter dam Wetherell 1987: 161). Kadang wawancara yang lebih banyak bisa menciptakan pekerjaan tambahan namun tanpa memperkaya analisisnya. Seberapa besar sampel yang diperlukan tergantung pada pertanyaan penelitiannya (Potter dan Wetherell 1987: 161).
c.       Pemroduksian material yang terjadi secara alami
     Seringkali terjadi, para ahli psikologi kewacanaan menggunakan materi “yang terjadi secara alami” bukannya, atau dikombinasikan dengan, materi yang diciptakan peneliti melalui kontak dengan responden (misalnya, dalam wawancara penelitian) (Potter da Wetherell 1987: 162; simak pula Potter 1997). Contoh materi yang terjadi secara alami meliputi transkripsi percakapan sehari-hari, teks ilmiah, dan teks media. Keuntungannya adalah bahwa peneliti tidak memengaruhi materi dan jenis materi yang dikumpulkan terbuka bagi analisis variasi pada konteks-konteks sosial. Misalnya, seseorang bisa memberi satu versi dunia dalam suatu wawancara dan versi lain dalam bercakap-cakap dengan sahabat atau pada sesuatu yang dia tulis (Potter dan Wetheller 1987: 162). Masalah praktis yang timbul adalah bahwa percakapan alami sering memakan waktu lama untuk transkripsikannya. Karena alas an-alasan etika, peneliti harus mendapatkan izin untuk mengikuti dan menggunakan percakapan itu (Potter dan Wetherell 1987: 163; Potter 1997).
3.      Pemroduksian materi melalui wawancara
Psikologi Kewacanaan VS Metode Kualitatif Lain
Dalam epistemologis positivis, wawancara perlu menghasilkan jawaban yang jelas dan konsisten yang sekitarnya memungkinkan peneliti bisa mengambil kesimpulan mengenai opini-opini utama atau tindakan-tindakan sebelumnya (misalnya praktik konsumsi). Wawancara yang didasarkan pada epistemologi positivis biasanya terstruktur. Diajukan pertanyaan-pertanyaan baku yang tidak menyimpang dari tatanan dan rumusan yang telah disiapkan sebelumnya. Peneliti yang berbeda dalam tradisi ini berusaha meminimalkan efek interaksi sosial antara pewawancara dan responden. Dalam metodologi kualitatif yang menolak epistemologi positivis, wawancara dianggap sebagai bentuk interaksi sosial yang pembentukannya dibantu oleh peneliti dan responden, dan pewawancara jauh lebih aktif dan lebih banyak melakukan campur tangan dibandingkan yang terjadi dalam wawancara terstruktur. Dengan demikian, dalam analisinya, pewawancara dan responden dianggap setara. Wawancara dipandang sebagai cara untuk menyelidiki makna-makna yang diciptakan semua partisipan dalam interaksi sosial. Di sini, bahasa merupakan alat sekaligus objek analisis (Jensen dan Jankowski 1991: 32).
4.      Transkripsi
Di sini apa yang terutama ingin kami tekankan adalah implikasi perlakuan wawancara oleh psikologi kewacanaan sebagai interaksi sosial. Perlu dipilih sistem transkripsi yang memungkinkan peneliti bisa menganalisis wawancara sebagai interaksi sosial. Potter dan Wetherell (mis Potter dan Wetherell 1987;Wetherell dan Potter 1992) menggunakan versi lebih sederhana dibandingkan sistem tersebut (sistem Jeferson) yang sering digunakan dalam analisis wacana kritis. Jika wawancara dianggap sebagai interaksi sosial, pertanyaan dan jawabannya hendaknya ditranskripsikan dan dianalisis. Transkripsi yang baik, menurut Wetherell dan Potter, bisa memperlihatkan bagaimana jawaban responden sebagian merupakan hasil evaluasi pewawancara terhadap responden.
5.      Pengodean
    Tetapi bagi psikologi kewacanaan maupun metode kualitatif lain, biasanya langkah pertama yang ditempuh adalah koding.
    Cara memulai pengkodingan adalah membaca dan membaca kembali transkripsi agar bisa mengidentifikasi tema-tema yang ada. Cara semacam ini merupakan bentuk pengkondingan dimana fragmen-fragmen teks ditempatkan dalam kategori-kategori. Tujuannya tidak hanya mengidentifikasi tema-tema yang berasal dari kerangka teoritis melainkan juga membuka tema-tema baru yang bisa ditemukan selama wawancara atau membaca transkripsi. Naskah wawancara bisa difoto kopi dalm file-file subjek yang berbeda dan bila suatu pemahaman mengenai suatu tema telah berkembang, ada kemungkinan bisa kembali ke materi dan mencari lebih banyak contoh. Dalam proses ini, beberapa tema ditolak dan diciptakan tema-tema baru (Potter dan Wetherell 1987: 167).
    Suatu teknik yang bisa digunakan untuk melakukan analisis adalah mencari titik-titik krisis: tanda yang menunjukkan bahwa dalam interaksi telah terjadi kesalahan. Tanda-tanda tersebut bisa merelefsikan konflik antara wacana-wacana yang berbeda. Suatu tanda bisa menyatakan bahwa salah satu partisipan berusaha menyelamatkan situasi misalnya dengan mengulangi ujaran, memecah kebisuan atau melakukan perubahan tiba-tiba pada gaya bahasanya (Fairclough 1992a). Teknik yang lain adalah mencari kata ganti. Pergeseran pada kata ganti (misalnya, dari “I” ke “we”) bisa menunjukkan terjadinya pergeseran dari posisi subjek dalam wacana yang lain.
6.      Analisis
Jenis-jenis psikologi kewacanaan yang berbeda memiliki cara yang berbeda dalam mendekati analisis wacana. Pilihan teknik analisisnya tergantung pada metode dan kerangka teoritisnya.
7.      Penentuan validitas
Satu cara yang digunakan agar bisa menentukan validitas analisis wacana adalah dengan memusatkan perhatian pada koherensi. Pernyataan analisis dianggap membentuk suatu wacana yang koheren. Keberadaan aspek-aspek analisis yang tidak sejalan dengan uraian analisis wacana mengurangi kemungkinan pembaca mau menerima analisis ini (Potter dan Wetherell 1987: 170). Cara lain yang bisa ditempuh untuk menentukan validitas adalah menganalisis kegunaan analisis (Potter dan Wetherell 1987: 171-172). Metode ini secara tradisional telah lama diterapkan dalam paradigma-paradigma ilmiah. Dalam mengevaluasi kegunaan analisis, fokus utamanya ditujukan pada kemungkinan untuk bisa menjelaskan kerangka analisis termasuk kemampuannya memberikan penjelasan-penjelasan baru.
8.      Laporan penelitian
Laporan penelitian tidak hanya sekedar penyajian hasil-hasil penelitian melaikan juga merupakan bagian dari validasi (Potter dan Wetherell 1987: 172). Peneliti harus menyajikan analisis dan kesimpulan dalam suatu bentuk yang memungkinkan pembaca bisa mempertimbangkan interprestasi yang dibuat peneliti. Di sini, hal yang paling rawan adalah transparansi. Laporan penelitian ini hendaknya berisi contoh-contoh representatif yang berasal dari materi empiris ditambah dengan uraian terinci interprestasinya seraya menggabungkan pernyataan analitis dengan ekstrak teks khusus. Laporan ini merupakan pendokumentasian langkah-langkah analitis dari data kewacanaan ke kesimpulan peneliti. Pembaca hendaknya diberi kemungkinan untuk bisa mengevaluasi setiap langkah prosesnya dan membentuk kesannya sendiri. Kebanyakan bagian laporan terdiri atas inti transkripsi dan interprestasi terinci yang mengidentifikasi pola-pola yang terdapat dalam materi. Bila peneliti melakukan interprestasi sendiri, permasalahan yang ada seringkali bisa menjadi jelas. Suatu pola kewacanaan yang mereka anggap jelas bisa saja ternyata berantakan, dan untuk itu perlu kembali menelaah cara pengkodingan atau bahkan transkripsinya (Potter dan Wetherell 1987: 173-174).
9.      Cara menerapkan hasil penelitian
Cara mengomunikasikan wawasan analisis wacana kepada orang-orang yang berada di luar bidang penelitian merupakan suatu tantangan yang penting. Untuk itu peneliti perlu memilih apakah kelompok sasaran hasil penelitian itu hendaknya masyarakat ilmiah, orang-orang yang bersinggungan dengan penyelidikan itu (misalnya orang-orang yang diwawancarai), kelompok milik orang yang diwawancarai (misalnya, subkultur tertentu) dan atau orang-orang secara umum. Satu kemungkinannya adalah memilih media masa sebagai medianya. Kemungkinan yang lain adalah melakukan dialog dengan orang-orang yang dikaji (Potter dan Wetherell 1987: 175).
10.  Komentar terakhir
Sebagai kesimpulan, kami akan membahas beberapa kritik yang telah  dilontarkan kepada psikolog kewacanaan. Kami mulai pembahasan ini dengan dua untaian utama psikologi kewacanaan yang disajikan dan digambarkan masing-masing oleh kajian Wetherell dan Potter dan Widdicombe da Wooffit. Setelah itu, kami mengetengahkan usaha Serge Moscovici untuk mengembangkan dan memperluas perspektif kontruksionis sosial dengan memasukan sebagian perspektif kognitivis.
Melalui pengguna sistematis teknik analisis percakapan, Widdicombe dan Woofitt memperlihatkan sebagaimana orang menggunakan sumberdaya kewacanaan termasuk identitas sosial untuk mengonstruk cerita-cerita khusus. Hasilnya adalah bahwa mereka tidak menjelaskan peran praktik kewacanaan dalam upaya mempertahankan tatanan sosial tertentu dan meniadakan bentuk-bentuk alternative organisasi sosial.
Ditilik dari sudut pandangan kognitivis, metode merupakan salah satu persoalan utama dalam psikologi ke wacana. Argument yang dikemukakan adalah bahwa tanpa teknik-teknik tersebut semua jenis interpretasi subjektif memiliki kendali yang bebas dan tidak ada criteria yang bias digunakan untuk membedakan mana yang baik dengan yang jelek dan yang valid dengan yang tidak valid.
Moscovici merupakan pelopor suatu pendekatan yakni teori representasi sosial yang bisa dipandang fusi atau persilangan antara konstruksionisme sosial dan kognitivisme ketika dia menggabungkan unsure-unsur yang berasal dari kedua perspektif itu.
E.  Lintas Pendekatan
1.    Wacana sebagai struktur dan praktik
    Prostrukturalisme berusaha menyatukan dua tataran yakni parole dan langue, struktur dan praktik ke dalam suatu proses tunggal. Struktur bukannya entitasnya dasar, hanya ada dalam praktik kewacanaan yang memproduksi atau mentransformasikan.
    Konsep utama analisis proses yang dikemukakan Fairclough adalah antara tekstualitas dan antara kewacanaan. Dengan mengamati bagaimana teks-teks khusus menggunakan formasi-formasi makna terdahulu dan bagaimana mereka mencampur wacana yang berbeda. Fairclough menyelidiki bagaimana wacana diproduksi dan prioritas utamanya adalah bagaimana wacana-wacana itu diubah. Diantara yang lain bagaimana wacana-wacanaberbeda diartikulasikan bersama dalam satu teks khusus dan apakah wacana-wacana yang berbeda digabungkan dalam artikulasi-artikulasi yang baru.
    Antarkewacanaan adalah tanda dan daya dorong perubahan kurtular dan sosial. dengan mengananlisis antartekstualitas dan antar kewacanaan, ada kemungkinan bisa memahami peran wacana dalam proses perubahan sosial. Fairclough mengusulkan bahwa peneliti hendaknya menganalisis dua dimensi: peristiwa komunikatif dan tatanan wacana. Praktik hendaknya dianalisis berdasarkan struktur yang berkaitan dengannya. Laclau dan Mouffe bekerja menggunakan pembedaan serupa, yakni antar artikulasi dan wacana. Di sini, wacana merupakan penetapan makna yang lebih abstrak, dan artikulasi merupakan tindakan khusus yang menggunakan atau mentransformasikan wacana.
2.    Wacana dan tatanan wacana
        Tatanan wacana didefinisikan sebagai konfigurasi kompleks wacana dan aliran dalam lembaga atau bidang sosialyang sama. Jadi, tatanan wacana bisa digunakan untuk menggambarkan wacana-wacana yang berbeda yang sebagian mencangkup daerah yang sama, daerah tempat masing-masing wacana saling berkompetensi untuk mengisi daerah itu daerah itu dengan makna dengan caranya masing-masing.
a.    Cara membatasi wacana
                        Memperlakukan pembatasan wacana sebagai kegiatan analitis memerlukan pemahaman wacana sebagai objek yang harus dikonstruk peneliti bukannya sebagai objek yang ada dalam bentuk terbatas pada realitas, yang siap diidentifikasi dan dipetakan. Peneliti dalam laporannya harus menetapkan bahwa batasan yang telah dibuatnya masuk akal. Pembatasan bisa dimulai dengan alat bantu literature sekunder yang mengidentifikasi wacana-wacana khusus, namun jelasnya pekerjaan dilanjutkan dalam analisis wacana materi.
b.      Isi wacana
                                    Dengan menggunakan kerangka ini, penelitian bisa menggambarkan wacana-wacana yang berbeda, dengan memusatkan perhatian pada hal-hal berikut ini:
1)      Aspek dunia tempat diperolehnya makna wacana;
2)      Cara-cara tertentu diperolehnya makna masing-masing wacana;
3)      Titik-titik terjadinya perjuangan terbuka antara representasi-representasi yang berbeda; dan
4)      Pemahaman apapun yang dinaturalisasikan pada semua wacana sebagai akal sehat.
                                    Isi wacana tentu saja tergantung pada hakikat wacana yang dikaji. Namun pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan bagaimana dunia mencari asal maknanya secara kewacanaan dan konsekuensi-konsekuensi sosial apa yang diakibatkannya. Titik awal pemikirannya adalah bahwa wacana, dengan merepresentasikan realitas dengan satu cara tertentu bukannya dengan kemungkinan cara yang lain, menyusun subjek dan objek dengan cara tertentu, menciptakan batas antara yang salah dan yang benar, dan memastikan jenis tindakan apa yang relevan dan jenis-jenis tindakan lain yang tak terpikirnya.
c.       Piranti analisis
Diantara pendekatan-pendekat yang diuraikan, oleh sebab itu, untuk beberapa kasus disarankan memulai analisis dengan menggunakan metode retoris psikologi kewacanaan atau linguistic Fairclough atau mengkombinasikan satu atau keduanya dengan teori wacana.  Keuntungan menggunakan metode Fairclough ditilik dari tingkat rincian yang dimintanya, adalah bahwa sering ada kesempatan untuk menganalisis sejumlah kecil teks. Akibatnya, metode ini menuntut agar peneliti secara strategis menyeleksi teks yang ingin dianalisis. Supaya bisa melakukan penyeleksian yang strategis semacam itu perlu diidentifikasik kemungkinan wacana dan tatanan wacana melalui survey awal teks-teks yang relevan, termasuk penelitian yang ada yang mengkaji topik itu. 
            Disini kami menyimpulkan ingin mengetengahkan bagaimana piranti-  piranti analisis itu juga bisa digunakan untuk memberikan dukungan empiris kepada wacana-wacana dan tatanan wacana yang konstruk peneliti.
3.    Strategi-strategi analisis
Dalam pokok bahasan ini, kami menyajikan empat strategi yang bisa digunakan pada semua pendekatan guna memberikan pemahaman yang penuh tentang materi bahasan dan mengidentifikasi titik-titik fokus dalam rangka penyelidikan lebih lanjut. Pada fase awal analisis, bisa digunakan strategi-strategi analisis untuk mendapatkan kesan awal yang utuh tentang teks individu atau korpusteks dan menetapkan hipotesis-hipotesis yang bermanfaat untuk penyelidikan yang lebih terinci. Pada fase akhir analisis, strategi-strategi analisis tersebut bisa membantu penelitian mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus dan tepat tentang materinya, pertanyaan-pertanyaan yang pada gilirannya bisa dieksplorasi dengan menggunakan piranti-piranti analisis wacana yang lebih khusus yang berasal dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada.
4.    Pembanding
         Pembadingan merupakan suatu strategi yang sangat ampuh untuk memudahkan proses yang analisisnya senantiasa menjaga jarak antara dirinya dengan materi yang digarapnya. Proses menjaga jarak itu sangat penting sama seperti salah satu analisis wacana yang ditujukan untuk mengidentifikasi asumsi-asumsi yang lumrah dan dinaturalisasikan dalam materi empiris dan hal semacam ini bisa membantu peneliti mengenali hakikat relative budaya dan golongan aspek-aspek teks yang dianalisis. Oleh karena itu, pembandingan teks yang dianalisis dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang ada merupakan langkah pertama menuju usaha untuk menghasilkan uraian lebih tepat mengenai cara-cara tertentu yang digunakan teks dalam menghasilkan makna.
5.    Subtitusi
Subtitusi merupakan suatu bentuk pembandingan tempat analisis menciptakan teks sebagai pembandingannya. Substitusi melibatkan penggantian suatu kata dengan kata yang berbeda, sehingga menghasilkan sua versi teks yangbisa diperbandingkan satu sama lain. Dengan demikian makna kata aslinya bisa diketahui.


6.    Membesar-besarkan sesuatu yang terperinci
          Membesar-besarkan sesuatu yang terperinci melibatkan aktivitas melebih-lebihkan rincan teks tertentu di luar proposinya. Analisis mungkin mengidentifikasi cirri tekstual yang tampak aneh atau signitifikan. Namun, karena hanya berupa satu ciri yang tersendiri, analis tidak mengetahui apa signitifikasinya atau bagaimanakaitannya dengan teks secara keseluruhan. Agar bisa mengeksplorasi signitifaksi cirri tersebut, kita bisa membesar-besarkannya dan kemudian menanyakan kondisi-kondisi apa yang yang diperlukan agar cirri tersebut masuk akal. Dantentang interpretasi apa yang sekiranya secara keseluruhan cocok dengan ciri tersebut. seringkali terjadi ciri-ciri yang menarik pada poin-poin tertentu dalam teks yang ternyata bisa merusak komunikasi namun ciri-ciri yang lain jugabisa dibesar-besarkan.
7.    Vokalitas ganda
Strategi vokalis ganda terdiri atas penggambaran logika kewacanaan atau suara-suara yang berbeda dalam teks. Strategi ini didasarkan pada premis analisis wacana tentang antartekstualitas yakni, premis yang berbunyi bahwa semua ujaran tak pelak menggunakan, memasukkan, atau menantang ujaran-ujaran terdahulu. Antartekstualitas selalu melibatkan reproduksi dan transformasi suara-suara yang berbeda dalam artikulasi-artikulasi baru, sehingga menghasilkan teks-teks vocal ganda. Oleh karena itu, jika mencatat kalau suatu teks itu bersifat vokal ganda tidaklah menarik. Tapi tujuan pengguna strategi semacam itu adalah menggunakan vokalitas ganda untuk menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang diajukan ke teks yang dipakai: apa yang mencorak suara-suara yang berbeda teks itu? Kapan masing-masing suara berbicara? Makna apa yang disumbangkan oleh suara-suara yang berbeda kepada pemroduksian teks?
8.    Dari strategi ke analisis selanjutnya
                         Urutan dalam menyajikan ke empat strategi itu sifatnya arbitrer. Analisis bisa dimulai dengan salah satu strategi, dan analisis bisa meloncat ke depan atau ke belakang dari satu strategi ke strategi yang lain dan tidak harus menggunakan strategi tersebut secara keseluruhan. Tujuan digunakannya startegi-strategi tersebut adalah mengembangkan pemahaman menyeluruh tentang materinya dan mengetengahkan ide-ide yang lebih khusus tentang bagaimana menerapkannya piranti-piranti khusus pendekatan analisis wacana atau pendekatan-pendekatan yang digunakan. Misalnya bila strategi vokalitas ganda mengarah timbulnya pertimbangan-pertimbangan tentang posisi pembaca sebagai agen atau korban dalam kerangka eksplanatoris yang berbeda, alur pertimbangan semacam ini bisa diteruskan dengan menggabungakan satu atau lebih analisis wacana, dengan menerapkan piranti-piranti khusus agar bisa menyelidiki aspek teks ini lebih lanjut.
9.    Penelitian perspektif ganda
Mengenai pengkonstruksian kerangka perspektif ganda, upaya memasukan setiap pendekatan bisa dibenarkan dengan alasan pengetahuan yang bisa dihasilkan oleh setiap pendekatan mengenai fenomena sosial yang dikaji. Gabungan aplikasi pendekatan-pendekatan dalam analisis tekstual semacam itu khusus dirancang supaya bisamemperlihatkan bentuk pengetahuan tertentu yang disumbangkanoleh setiap pendekatan dan kekuatan eksplanatoris kerangka perspektif ganda secara keseluruhan sebagai metodologi penelitian sosial.
10.    Cara menggabungkan pendekatan-pendekatan yang berbeda: isu-  isu utama
Sewaktu melaksanakan penelitian analisis wacana, perlu dipatuhi premis konstruksisosial yang menyatakan bahwa objek penelitian itu sendiri tidak menentukan pilihan metodologis dan teoritis yang dibuat. Penelitian tidak hanya mereflesikan realitas seperti itu. Namun, kerangka filsafat dan teoretis memberikan konstribusi pada pengonstruksian bidang kajian dengan cara tertentu dan dengan begitu pendekatan-pendekatan yang berbeda bisa menyusun bidang kajian yang sama secara berbeda,  dengan menekankan beberapa aspek saja dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu, kerangka analisis wacana hendaknya didasarkan pada dialog dengan bidang kajian ini, sehingga analisis wacana mengenali dan bisa menjelaskan bagaimana kerangka analisis wacana itu menciptakan objek atau sebaliknya dan menjelaskan hakikat pengetahuan yang dihasilkan.
11.     Lingkungan dan tindakan politik-sebuah contoh
Contoh ini diambil dari kajian tentang lingkungan dan tindakan politik di Denmark yang dilakukan oleh Louise Philips. Kajian ini didasarkan pada sebanyak 33 wawancara semi terstruktur dengan indivvidu-individu, pasangan-pasangan dan kelompok-kelompok. Fokus kajian ini ditujukan kepada wacana mereka yang berhubungan dengan lingkungan dan tindakan politik atas dasar perkembangan kemasyarakatan dan modernitas mutakhir. Perkembangan perkembangan tersebut meliputi proliferasi resiko, perubahan hubungan antara keadaan global dan local dalam kaitannya dengan persebarankomunikasi melalui masa dan lahirnya bentuk-bentuk politik baru berdasarkan individualisasi dan budaya konsumen. Motivasi utama untuk melakukan kajian tersebut adalah munculmya pandangan bahwa ada kebutuhan akan penelitian yang lebih empiris yang secara sistematis menggunakan teori sosial agar bisa mengekspresikan hubungan antara perkembangan kemasyarakatan umum dan pembicaraan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam contoh ini kami memusatkan perhatian kami pada salah satu tema utama kajian: cara direpresentasikannya secara kewacanaan praktik konsumen environmentalis. Fokus utamanya ditujukan pada cara orang mengatasi ketidakpastian dalam hidupnya atas resiko-resikonya dan bagaimana mereka menegosiasikan tanggung jawabnya atas masalah lingkungan.
12.    Analisis tekstual dengan menggunakan tiga pendekatan pada  analisis wacana: suatu ilustrasi
                                    Menurut tiga pendekatan menyajikan analisis gabungan seperti yang terdapat dalam konvensi penelitian anasisis wacana. Perlu dicatat bahwa dalam kajian yang digunakan untuk analisis ini, teori wacana Laclau dan Mouffe dimasukkan kedalam analisis tataran praktik kewacanaan berdasarkan analisis wacna kritis, sebaliknya kami menyajikan sebagai analisis yang mandiri. Meski tiga pendekatan itu memiliki penekanan yang berbeda, tetapi ada derajad tumpang tindih jenis analisis yang cenderung dihasilkannya. Juga, analisis ini tidaklah mendalam atau luas, namun ditujukan untuk memberikan gagasan tentang bagaimana ketiga pendekatan itu masing-masing digunakan dalam analisis. Juga perlu dicatat bahwa analisis khusus ini merupakan bagian analisis yang lebih luas kisaran yang diacu dalam contoh telah ditetapkan melalui analisis materi yang lebih luas bukannya naskah khusus ini. Kami pertama-tama akan menerapkan pendekatan Laclau dan Mpffe, lalu analisis wacana kritis dan terakhir psikologi wacana.
a.      Teori wacana Laclau dan Moffe
     Laclau dan Moffe sepeti yang sudah dikemukakan tidaklah memberi metode kongkret analisis namun dari modal mereka bisa diambil sederet titik fokus analitas. Pada bagian pertama wawancara, Laurits, Tim dan Jonathan semuanya berbicara tentang suatu wacana ekologi. Wacana ekologis adalah wacana yang menekankan pentingnya melindungi lingkungan berdasarkan pemahaman holistic dunia ini. Ekologi merupakan titik nodal tempat diorganisasikannya tanda-tanda lain seperti pemilah sampah, limbah yang didaur ulang. Wacana itu memetapkan identitas hijau pada individu, dimana individu hendaknya secara aktif mengatasi masalah lingkungannya dan mengenali perannya sebagai bagian alam yang terpadu. Dengan begitu identitas individu dikonstruk di sekitar penanda utama agen ekologis. Menurut wacana ini, melakukan perlindungan terhadap lingkungan merupakan kehausan moral dan kurang peduli terhadap persoalan ini merupakan sikap tidak bagus.


b.      Analisis wacana kritis
    Analisis wacana kritis menjelaskan konstruksi linguistik wacana-wacana melalui analisis dimensi teks, dan sebagaimana dikemukakan di dalam bab ini, fokus pada bahasan juga membantu mengidentifikasi dan membatasi wacana-wacana itu. Selain itu anlisis wacana kritis melibatkan analitis sistematis praktik sosial sebagai dimensi praktek kewacanaan yang berbeda secara analitis.
c.       Psikologi kewacaan
                             Ditilik dari psikologi kewacanaan, analisis ini memperhatikan bagaimana ekspresi tanggung jawab pribadi dipertahankan dengan cara dilakukan pengecekan, dan kegagalan melakukan tindakan politik dilegitimasi melalui pengguna yang fleksibel oleh orang-orang terhadap wacana sebagai sumberdaya percakapan. Oleh karena itu analisis organisasi etorika interaksi pada psikologi kewacanaan sejalan dengan pandangan konsekuensi sosaail praktik kewacanaan analisis kritis-suatu pandangan, bagaiman yang dikemukakan di atas, mendukung pemahaman Bauman tentang privatisasi tanggung jawab.
13.     Validitas
Validitas adalah pertanyaan tentang standar apa yang harus dipenuhi penelitian agar bisa dianggap sebagai penelitian akademis yang layak. Dengan mengukur penelitian ini berdasarkan criteria tertentu, bisa dievaluasi apakah penelitian ini masuk penelitian bagus atau jelek.
F.   Penelitian Konstruksionis Kritis
1.      Bagaimana tentang realitas ?
Analisis wacana kritis membedakan secara lebih tajam antara praktik kewacanaan dan nonkewacanaan. Tujuan analisis wacana yang penting adalah menyingkap dan menggambarkan pemahaman akal sehat yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dengan mentransformasikannya ke dalam kemungkinan objek diskusi dan kritik dan oleh sebab itu terbuka bagi perubahan.
2.      Tinjauan ideologis
Tinjauan ideologi-yang menjamur tahun 1970an adalah hubungan kekuasaan dalam masyarakat dibarengi oleh bahasa hegemonis dengan menyatakan realitas di balik ideologi. Tinjauan terhadap ideologi yang dominan bertujuan menyingkap kekuasaan dengan menggunakan kebenaran. Pemahaman tinjauan ini telah di kritik keras dari peniliti konstruksionis sosial.
3.      Tinjauan ideologi yang telah dimodifikasi
Analisis wacana kritis Fairclough bisa dijadikan contoh versi tinjauan ideologi yang telah dimodifikasi. Menurut analisis wacana kritis, wacana bisa kurang lebih bersifat ideologis. Wacana-wacana yang lebih ideologis adalah wacana yang memberi representasi realitas yang terdistorsi dan jadi memberi kontribusi pada upaya pelestarian hubungan dominasi di masyarakat (Chouliaraki dan Fairclough 1999: 321). Akan tetapi analisis kritis ini dalam beberapa hal mengubah tinjauan ideologi.
4.      Tinjauan tentang tinjauan
Tentang tinjauan ini banyak yang memperdebatkan antara mendukung dan menentang. Tapi tinjauan membekukan perdebatan, yakni membatasi dan mempolarisasikan suara-suara yang bisa berpatisipasi dalam perdebatan. Keinginan Gregen adalah adanya suatu perdebatan yang terdiri atas kontribusi-kontribusi yang berbeda dan bersaing satu sama lain.
5.      Tinjauan atas asal makna yang dianggap lumrah
Proyek kritis ini merupakan persoalan denaturalisasi pemahaman realitas yang dianggap lumrah. Titik pijakannya adalah bahwa representasi dunia kami itu selalu mungkin bisa dilakukan-representasi-representasi itu sesungguhnya bisa berbeda-dan sewaktu kita menganggap kalau sesuatu lumrah saja, kita lupa bahwa sesuatu itu bisa saja berbeda. Bila sesuatu yang dianggap lumrah itu membatasi bidang kemungkina untuk berfikir dan bertindak, penyingkapannya bisa membuka medan politik ke arah kemungkinan lain dan oleh sebab itu bisa menggambarkan tujuan penelitian kritis itu sendiri.
6.      Cara mengidentifikasi sesuatu yang dianggap lumrah
Tanggapan pertama disebut redeskripsi analitis. Basil Bernstein menyatakan bahwa kita menganggap teori sebagai “bahasa uraian” dan penerapan teori tersebut sebagai penerjemahan materi empiris ke dalam bahasanya (Bernstein 1996: Bab 6). Melalui proses penerjemahan ini, sebagai aspek materi yang dianggap sebagai sesuatu lumrah didenaturalisasikan (cf Chouliaraki dan Fairclough 1999). Tujuan analisis wacana adalah mencarikan makna-makna lain dari materi selain yang disebutkan sebelumnya.
7.      Status pengetahuan
Tiga pemahaman teoritis tentang bagaimana peneliti bisa mengidentifikasi konstruk-konstruk dinaturalisasikan dan lumrah yang ingin mereka temukan. Pertama, kami menyarankan agar teori merupakan bahasa rediskripsi yang memerlukan penerjemahan materi empiris, kedua, kami membahas sudut pandang dari daerah pinggiran sekitarnya agar bisa mendapatkan perspektif luar tentang daerah pusat dan ketiga kami menunjukan kesenjangan yang ada dalam struktur dominan tempat bisa diproblematisasikannya kategori-kategori yang dinaturalisasikan.
8.      Tinjauan sebagai pembukaan bagi pembahasan yang sudah disetel
Penelitian hendaknya berisi suatu perspektif kritis. Dalam pengertian yang sangat luas kata “tinjauan”, kami percaya bahwa mustahil bersikap sangat kritis. Untuk memproduksi teks, kita tidak bisa menghindarkan diri menyatakan sesuatu tentang dunia, merepresentasikan objektivitas, tidak bisa dihindarkan. Kenneth Gergen dan Bruno Latour menyatakan bahwa tinjauan selalu memosisikan peneliti sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan yang lebih unggul.



BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kelebihan Buku
Buku ini memberikan pengantar dalam memahami bidang interdisipliner yang luas, juga memperlihatkan tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana, memberikan inspirasi bagi lahirnya kajian-kajian analisis wacana yang baru. Selain itu juga memberi kemudahan dalam menggunakan desain kerangka penelitian yang menggunakan lebih dari satu pendekatan dari pendekatan-pendekatan tersebut dengan cara menyajikan dan membahas premis-premis filsafat yang umum bagi semua bentuk analisis wacana konstruksionis sosial. Analisis wacana bisa digunakan sebagai kerangka analisis identitas kebangsaan.
B.     Kekurangan Buku
Kekurangan buku ini terletak pada pemakaian bahasa, kebanyakan menggunakan bahasa ilmiah sehingga sulit dipahami oleh pembaca apalagi pembaca pemula, maka akan timbul persepsi-persepsi yang berbeda. Penulisan teksnya kolektif sehingga memberikan banyak corak dalam buku ini. Pelaksanaan ide-ide kurang dalam memperluas teks ini.










BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Buku ini memperkenalkan tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana konstruksionis sosial, yakni teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, analisis wacana kritis, dan psikologi kewacanaan. Teori dan metode tersebut bisa diterapkan untuk menganalisis banyak domain sosial yang berbeda, termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, dan untuk mengeksplorasi peran penggunaan bahasa dalam perkembangan-perkembangan budaya dan kemasyarakatan yang luas seperti globalisasi dan persebaran komunikasi dengan mediasi massa.
Teori wacana Ernesto Lclau dan Chantal Mouffe, merupakan teori postrukturalis yang paling ‘murni” dalam bacaan ini. Teori ini titik pangkalnya dari gagasan postrukturalis yang menyatakan bahwa wacana mengkosntruk makna dalam dunia sosial dan karena secara mendasar itu tidak stabil, makna tidak pernah habis secara permanen. Kata kunci teori ini adalah perjuangan kewacanaan (descursive struggle). Analisis wacana kritis, fokus pembahasan khusus pada pendekatan Norman Fairclough, juga menekankan peran aktif wacana dalam mengonstruk dunia sosial. Akan tetapi, berlawanan dengan pendapat Laclau dan Mouffe, Fairclough menyatakan bahwa wacana hanyalah merupakan salah satu di antara banyak aspek praktik sosial. Bidang utama yang menarik dalam analisi wacana kritis yang dikemukakan Fairclough adalah penyelidikannya terhadap perubahan. Psikologi kewacanaan, sama-sama memiliki fokus kajian empiris dengan analisis wacana kritis yakni persoalan-persoaln khusus penggunaan bahas adalam interaksi sosial.





DAFTAR PUSTAKA

Jorgensen, W. Marianne. 2010. Analisis Wacana: Teori & Metode. Yogyakarta:    Pustaka Pelajar.
Samsuri. 1990. Analisis wacana. Malang: IKIP malang.
Tarigan, H. G. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.